"Kovenan/perjanjian adalah persetujuan antara Allah dan manusia yang diawali anugerah-Nya, berdasarkan janji-Nya, dan dimeteraikan dengan sebuah tanda" (John Stott).
Setelah peristiwa air bah, Alkitab untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah perjanjian (kovenan). Perjanjian Allah dengan Nuh berbicara tentang mempertahankan irama dari alam. Janji-Nya disahkan dengan tanda busur pelangi (Kej. 9: 7-18). Perjanjian ini bersifat universal.
Perjanjian dengan Abraham berbicara tentang pelipatgandaan keturunannya dan perluasan teritorinya. Kali ini janji-Nya disahkan dengan tanda sunat (Kej. 17: 1-14). Perjanjian ini bersifat khusus.
Berbicara tentang janji akan selalu mengarah kepada sebuah pertanyaan tentang kapan dan bagaimana digenapinya. Namun, mereka yang mengikat perjanjian dengan Allah seakan hanya menerima janji, tetapi "tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu" (Ibr. 11: 13; 39).
Masalah selalu muncul taktala manusia yang terbatas hendak menyelami
pikiran Allah yang tidak terbatas, termasuk memaknai perjanjian-Nya. Lalu bagaimana solusinya memaknai janji Allah (jika alkitab menulis penerima janji justru tidak memperoleh apa yang dijanjikan)?
Janji Allah seringkali tidak terwujudnyatakan secara fisik dan kita alami ketika kita hidup di dunia. Namun bukan berarti janji Allah adalah palsu layaknya janji perayu picisan yang menjanjikan bulan bagi kekasihnya Janji Allah sifatnya kekal, pasti dan realistis.
Kuncinya: memaknai janji Allah tidak boleh tidak dimaknai oleh iman. Bahkan tidak boleh dinantikan dengan iman yang tidak berisi alias iman itu harus mengandung unsur kesabaran dan pengharapan. Karena janji Allah tidak diwariskan lewat iman semata, melainkan "oleh iman dan kesabaran" sehingga pada saat-Nya, kita akan mendapat bagian dalam apa yang dijanjikan Allah (Ibr. 6: 12).
Apa janji yang saudara tengah nanti-nantikan dari Tuhan? Apapun itu, nantikanlah dengan iman yang berisikan pengharapan dan kesabaran bahwa saatnya akan tiba, di bumi ataupun di sorga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar