Kamis, 16 Agustus 2012

Antara Janji dan Penggenapannya

"Kovenan/perjanjian adalah persetujuan antara Allah dan manusia yang diawali anugerah-Nya, berdasarkan janji-Nya, dan dimeteraikan dengan sebuah tanda"  (John Stott).

Setelah peristiwa air bah, Alkitab untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah perjanjian (kovenan). Perjanjian Allah dengan Nuh berbicara tentang mempertahankan irama dari alam.  Janji-Nya disahkan dengan tanda busur pelangi (Kej. 9: 7-18).  Perjanjian ini bersifat universal.

Perjanjian dengan Abraham berbicara tentang pelipatgandaan keturunannya dan perluasan teritorinya.  Kali ini janji-Nya disahkan dengan tanda sunat (Kej. 17: 1-14).  Perjanjian ini bersifat khusus.

Berbicara tentang janji akan selalu mengarah kepada sebuah pertanyaan tentang kapan dan bagaimana digenapinya.   Namun, mereka yang mengikat perjanjian dengan Allah seakan hanya menerima janji, tetapi "tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu" (Ibr. 11: 13; 39).

Masalah selalu muncul taktala manusia yang terbatas hendak menyelami pikiran Allah yang tidak terbatas, termasuk memaknai perjanjian-Nya. Lalu bagaimana solusinya memaknai janji Allah (jika alkitab menulis penerima janji justru tidak memperoleh apa yang dijanjikan)? 

Janji Allah seringkali tidak terwujudnyatakan secara fisik dan kita alami ketika kita hidup di dunia.  Namun bukan berarti janji Allah adalah palsu layaknya janji perayu picisan yang menjanjikan bulan bagi kekasihnya  Janji Allah sifatnya kekal, pasti dan realistis.

Kuncinya: memaknai janji Allah tidak boleh tidak dimaknai oleh iman.  Bahkan tidak boleh dinantikan dengan iman yang tidak berisi alias iman itu harus mengandung unsur kesabaran dan pengharapan.  Karena janji Allah tidak diwariskan lewat iman semata, melainkan "oleh iman dan kesabaran" sehingga pada saat-Nya, kita akan mendapat bagian dalam apa yang dijanjikan Allah (Ibr. 6: 12).

Apa janji yang saudara tengah nanti-nantikan dari Tuhan?  Apapun itu, nantikanlah dengan iman yang berisikan pengharapan dan kesabaran bahwa saatnya akan tiba, di bumi ataupun di sorga!




Selasa, 07 Agustus 2012

MEMPERHATIKAN YANG TERKECIL

“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40)

PENDAHULUAN
Jika kita mengamati kehidupan di dunia ini, semakin hari orang semakin tidak peduli terhadap sesamanya. Masyarakat kita secara sadar atau tidak sadar mulai berkenalan dan sudah menjalin hubungan dengan sifat-sifat yang bernama egois, individualistis dan apatis, bahkan manusia hampir tidak mengenal lagi yang namanya belas kasihan. Amatilah kejadian-kejadian yang diberitakan baik melalui media visual maupun cetak, atau mungkin kita dapat mengamatinya secara langsung di dalam kehidupan keseharian kita. Kemiskinan yang merajalela, kebodohan yang dipelihara, tingkat kesahatan yang terabaikan semuanya didominasi oleh kaum lemah yang kita kenal dalam istilah kaum setopan, orang kolong jembatan, penduduk pinggir kali, dll.
Semangat hedonis dan materialistis tidak mau kalah bersaing, ikut mempromosikan dirinya, mulai dari tingkat elit sampai kepada level garis rumput semuanya ingin eksis, dari kaum alay sampai kaum borjuis, berlomba-lomba tampil trendi. Untuk mencapai hal-hal yang demikian, orang-orang menjadi komsumtif dan karenanya mendorong sifat individualistis dan –is-is lainnya terpelihara semakin subur dan belas kasihan mulai dikubur. Yang di permukaan semakin terang benderang, yang di bawah, yang di pinggir, di belakang semakin terhilang. Kalau orang dunia bicara, “Mau apa lagi?” Bagaimana dengan orang Kristen?

PENGGALIAN
Kali ini di Matius 25: 31-46, Tuhan Yesus sedang berbicara tentang Penghakiman Terakhir. Diceritakan bahwa ketika Tuhan Yesus datang kembali ke dalam dunia, Ia tidak datang dalam kondisi yang lemah sebagai bayi dan situasinya berbeda. Kali ini Dia datang sebagai Hakim atau Raja yang menghakimi seluruh bangsa. Ia akan memisahkan seluruh bangsa yang ada di hadapan-Nya seorang demi seorang, sama seperti seorang gembala memisahkan domba dari kambing dan Ia akan menempatkan domba-domba di sebelah kanan-Nya dan kambing-kambing di sebelah kiri-Nya (ay. 32-33).

Tuhan Yesus menggunakan gambaran domba dan kambing untuk menggambarkan antara orang percaya dan yang non-percaya. Pada zaman dulu di Israel, para gembala memang menggembalakan domba bercampur dengan kambing, tetapi akan dipisah ketika tiba waktunya untuk mencukur bulu domba. Pada waktu petang, domba mendengarkan suara gembala tetapi kambing memilih untuk mengabaikan panggilan gembala. Perbedaan antara domba dengan kambing juga secara simbolis dalam Alkitab domba itu sering dipakai untuk melambangkan umat Allah, melambangkan kebenaran (Mzm. 23: 1-6; 100: 3; Yoh. 10). Sedangkan kambing di sini melambangkan sesuatu yang jahat (Yeh. 34: 17).

Apa hubungannya Penghakiman Terakhir dengan “memperhatikan yang terhilang?” Ayat 40 (34) dan 45 (46) merupakan indikasi kuat bahwa memperhatikan orang kecil erat hubungannya dengan Penghakiman Terakhir. Alkitab menulis, yang di sebelah kanan-Nya akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga karena sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku, kata Tuhan Yesus (ay. 40). Sebaliknya yang disebelah kiri-Nya akan masuk neraka karena sesungguhnya segala sesuatu yang TIDAK kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu TIDAK melakukannya juga untuk Aku.

Bagaimana bisa “orang-orang yang ditaruh di sebelah kanan” disebut telah memperhatikan yang terhilang (yang paling hina)? Ayat 35-36 mengonfirmasi tindakan belas kasihan mereka yang menuntun mereka masuk ke dalam Kerajaan Allah. Ketidaksadaran mereka (lih. ay. 38-39) memberi kesan bahwa tindakan belas kasihan yang mereka berikan bagi yang terhilang merupakan kegiatan sehari-hari yang dilakukan dengan tulus. Intinya melakukan kebaikan, berbelas kasihan kepada orang-orang kecil sama dengan melakukan untuk Tuhan (ay. 40, 45).

Ada satu hal yang penting bahwa bagian ini sama sekali tidak sedang mengajarkan perbuatan baik untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Hanya anugerah semata manusia menerima keselamatan dan bisa masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sebaliknya justru bagian ini menegaskan bahwa orang yang sungguh-sungguh telah dipilih Allah akan terihat dari buahnya. Jadi perbuatan baik dan tindakan belas kasihan adalah buah dari orang-orang yang mengucap syukur atas keselamatan yang telah mereka terima. Orang yang diselamatkan pasti akan melakukan perbuatan baik untuk menyenangkan Allah. Secara singkat orang Kristen sejati akan melakukan tindakan yang serupa Kristus, yang juga mengasihi dan memperdulikan orang-orang yang lemah dan terkucil (baca Injil Lukas).

TINDAKAN NYATA
Menolong mereka yang kekurangan tidak harus melakukan perjalanan jauh ke daerah-daerah terpencil di dunia. Tidak perlu tindakan muluk-muluk ingin memberi bantuan dana yang memerlukan budget raksasa. Perhatian yang tulus dan tindakan nyata dalam memberi kebutuhan yang paling mendasar yang mereka butuhkan sudah cukup meruntuhkan benteng pemisahan antara si aku dan yang terhilang.

Lingkungan tempat saudara tinggal bisa menjadi acuan untuk proyek belas kasihan. Ketika saudara melewati jalan-jalan di mana saudara keluar berpergian dari rumah menuju tujuan saudara, saudara dapat menebarkan belas kasihan bagi mereka yang membutuhkan pertolongan. Kita juga dapat menolong anak-anak yang kurang mampu di gereja atau lingkungan non-gereja; membagikan makanan bagi para gelandangan di tempat-tempat tertentu; memperhatikan janda-janda dan yatim piatu; bekerja sama dengan yayasan yang bergerak di pelayanan masyarakat miskin dll.

HIDUP YANG MEMBERI PENGARUH

Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”  Roma 12: 2

PENDAHULUAN
Fenomena film Korea yang marak ditayangkan di layar-layar televisi memberikan pengaruh/dampak yang besar bagi kehidupan banyak orang di Indonesia.   Trend Korea begitu menggila di kalangan anak muda masa kini.  Mulai dari model pakaian, kelompok musik sampai gaya rambut semuanya mengikuti perkembangan mode di Korea, khususnya lewat penampilan artis-artis Korea.  Banyaknya orang yang secara serentak menyukai hal-hal yang berbau Korea menunjukkan besarnya pengaruh budaya Korea yang ditampilkan secara terus menerus kepada  anak-anak muda di Indonesia.

Pengaruh yang diberikan oleh seorang artis kepada para penggemarnya memang merupakan hal yang klasik yang bisa terjadi di negara manapun.  Orang begitu terpengaruh sampai kehilangan jati dirinya yang sesungguhnya hanya karena ingin menyerupai idolanya.  Inilah kekuatan dari sebuah pengaruh.  Jika pengaruh yang diberikan baik, maka tidak memberikan masalah yang berarti, namun bagaimana jika pengaruh yang diberikan buruk?  Dunia ini memang menarik, ia menampilkan kerlap-kerlipnya cahaya yang menarik dan menyenangkan, yang memberikan banyak pengaruh baik positf maupun negatif melebur menjadi satu.

Pertanyaannya, bagaimana dengan orang Kristen? Apakah orang Kristen juga ikut terpengaruh oleh dunia, atau sebaliknya mempengaruhi dunia?  Sebagai orang Kristen jangan sampai kita terpengaruh oleh pengaruh dunia yang buruk.  Sebaliknya kitalah yang seharusnya memberikan pengaruh yang baik bagi dunia, berani tampil beda sebagai anak-anak Tuhan.

PENJELASAN
Orang Kristen memiliki kewajiban untuk memberi pengaruh bagi dunia ini  Tuhan memerintahkan kita untuk menjadi pengaruh! Alkitab sendiri mengonfirmasinya dalam Matius 28: 19-20 yang mengatakan bahwa orang Kristen memiliki kewajiban untuk membawa  sebanyak-banyaknya orang kepada Kristus.  Kisah Rasul 1: 8 memerintahkan hal yang sama bahwa setiap orang Kristen harus menjadi saksi mulai dari lingkungan yang bersifat lokal kepada yang global.  2 Korintus 5: 19, Paulus menegaskan bahwa orang Kristen memiliki tugas untuk menolong orang-orang berdosa untuk diperdamaikan dengan Allah.

Untuk bisa memberikan sebuah pengaruh kepada lingkungan sekitar tidaklah mudah.  Butuh kesungguhan, konsistensi dan integritas.  Untuk bisa memberikan pengaruh kepada lingkungan sekitar kita, kita harus menampilkan yang berbeda, tidak ikut dunia.  Sebab dunia ini sudah jatuh ke dalam dosa, maka Rasul Paulus berkata di Roma 12: 2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”  Inilah salah satu cara, kondisi yang efektif agar orang Kristen dapat memberi pengaruh bagi lingkungan sekitarnya pada khususnya dan bagi dunia ini pada umumnya.

Ketika orang Kristen menyerahkan seluruh hidupnya bagi Tuhan, perubahan akan terjadi dalam relasinya dengan dunia.  Orang Kristen dipanggil untuk memiliki gaya hidup yang berbeda dari yang dunia tawarkan dengan segala sikap dan kebiasaannya, yang biasanya bersifat individualistis dan rusak (Gal. 1: 4; 1Pet. 1: 14).  Orang Kristen adalah warga Kerajaan Allah dan itulah yang harus ditunjukkan.  Sebab bagaimana mungkin kita bisa memberi pengaruh pada dunia sekitar kita jikalau kita sendiri mengikuti gaya hidup dunia?

Berubahlah oleh pembaharuan budimu,” kata Yunani untuk “berubah” (transformasi) adalah “metamophousthe” adalah akar dari kata metamorfosis.  Orang Kristen dapat memberi pengaruh kekristenan jika ia mengalami transformasi dari dalam keluar.  “Pembaharuan budi(anakainosei) yang dimaksud Paulus mengacu kepada cara berpikir yang baru, sebuah pemikiran yang disesuaikan dengan cara berpikir Allah daripada cara berpikir dunia.  Dan perubahan itu harus dimulai dari akal budi, di mana seluruh pikiran dan tindakan dimulai.    Maka ada satu kutipan yang menarik mengenai memberi pengaruh, “Jagalah pikiranmu; mereka akan menjadi perkataan.  Jagalah perkataan; mereka akan menjadi tindakan; jagalah tindakan; mereka akan menjadi kebiasaan; jagalah kebiasaan; mereka akan menjadi karakter.   Karakter Kristus atau karakter dunia yang ingin kita saksikan?  Karakter kita akan memberi pengaruh, baik yang baik maupun yang buruk terhadap lingkungan kita.

REFLEKSI-APLIKASI
Jika kita ingin hidup kita memberi pengaruh yang baik dan benar sesuai dengan tatanan yang Kristus ajarkan.  Maka kita harus berani untuk menampilkan gaya hidup yang berbeda dengan yang ditawarkan dunia.  Mengalami transformasi (perubahan) dalam pemikiran kita kepada pemikiran Kristus merupakan cara yang efektif dalam kita memberi pengaruh kekristenan membawa orang untuk mengenal Tuhan Yesus tanpa perlu melakukan kristenisasi.

DISKUSI
1.  Apakah saudara lebih banyak terpengaruh atau mempengaruhi keadaan sekitarmu?
Tuliskan dan sharingkan lima hal yang dapat membedakan hidupmu dengan orang yang belum mengenal Kristus!
2.  Sebutkan dan sharingkan  hal-hal apa saja (kebiasaan/gaya hidup/sikap) yang saudara rindu ingin saudara ubah/perbaharui demi menyaksikan Kristus dalam hidup saudara!

A Gethsemane Thriller: Kiss of Betrayal (Mrk. 14: 32-52)

PENDAHULUAN
Suatu kali di Global TV disiarkan sebuah berita mengenai seorang ibu yang menemukan seorang bayi perempuan yang sedang menangis, kira-kira berusia dua bulanan, diletakkan di dalam sebuah dus Aqua, ditinggalkan di dalam sebuah gubuk.  Lalu di dus tersebut ada secarik kertas yang bertuliskan: “Nama anak ini Feby, tolong rawat dia, saya melakukan ini karena himpitan ekonomi.  Ita.”

Karena alasan himpitan ekonomi ataupun karena ancaman masalah yang dihadapinya, seorang ibu bisa tega meninggalkan bayi yang tidak bersalah menangis seorang diri di sebuah gubuk.  Sang bayi hanya bisa menangis berharap ada yang mendengar tangisannya.  Oh, ini hanyalah satu dari ribuan kasus yang serupa yang terjadi dalam kehidupan di dunia ini.

Inilah peristiwa yang masih terjadi dari zaman ke zaman.  Akibat dosa, manusia mampu melakukan kesalahan yang fatal dalam hidupnya.  Seorang manusia bisa egois dan kejam terhadap temannya atau saudaranya bahkan  darah dagingnya karena tekanan masalah yang menimpanya.  Bahkan bukan tidak mungkin ia pun mampu meninggalkan Tuhan karena keegoisannya.  Ya, bukan tidak mungkin seorang murid Tuhan bisa mengkhianati penggilannya, melarikan diri meninggalkan Tuhan karena masalah yang menghadangnya. Namun walau bagaimanapun Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkan umat yang dikasihi-Nya.  Sekalipun Ia ditinggalkan, Ia dikhianati, Ia tetap mengasihi murid-murid-Nya.

Pertanyaannya: mengapa seorang murid Tuhan bisa meninggalkan panggilan-Nya?
Kira-kira apa indikasi seseorang mampu meninggalkan Tuhan?  Indikasi pertama:

1.      Ketika Kita Sudah Tidak Lagi Memiliki Kepekaan Rohani 
Saya percaya tentu tidak mudah bagi seseorang jika ia harus menghadapi masalah yang berat seorang diri.  Ketika ia berada di ambang masalah yang menimpanya, maka yang paling  ia butuhkan adalah sebuah dukungan, terlebih dukungan dari orang-orang yang dikasihinya. Saya berpikir inilah yang juga sedang dibutuhkan oleh Tuhan Yesus—ketika Ia akan menjalani Jalan Penderitaan menuju tiang salib—yaitu sebuah dukungan dari orang-orang yang Ia kasihi. Kamis malam, setelah Tuhan Yesus bersama kedua belas murid-Nya mengadakan perjamuan malam—dalam rangka memperingati keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir yang atau disebut juga dengan hari raya Paskah —Tuhan Yesus mengajak ketiga murid yang terdekat dengan-Nya yaitu: Petrus, Yohanes dan Yakobus  untuk menemani-Nya pergi ke suatu tempat yang bernama Taman Getsemani.

Taman Getsemani adalah sebuah taman yang berada di bawah kaki Bukit Zaitun, merupakan sebuah tempat peristirahatan yang sangat disukai oleh Tuhan Yesus, (Yoh.18:2).  Namun, pada malam hari itu, di Kamis malam, antara pukul  11-12 malam, dua hari menjelang bulan purnama, Getsemani kemungkinan menjadi tempat yang paling ingin dihindari oleh Tuhan Yesus.

Mengapa?  Karena di sanalah dan pada saat itulah akan dimulainya penderitaan Yesus yang terdalam, penderitaan menuju kematian-Nya di tiang salib—yang harus Ia jalani seorang diri tanpa ada dukungan dari orang-orang yang dikasihi-Nya.  Di sana Tuhan Yesus berkata kepada mereka, kata-Nya: "Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah"  (Mrk. 14: 34).

Ironisnya, ketika Tuhan Yesus membutuhkan dukungan dari murid-murid-Nya, dengan meminta mereka untuk berjaga-jaga taktala Dia berdoa, Ia justru menemukan mereka tengah tertidur.  Petrus, salah satu murid yang terkenal suka omong besar adalah yang paling pertama ditegur, "Simon, sedang tidurkah engkau? Tidakkah engkau sanggup berjaga-jaga satu jam? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan; roh memang penurut, tetapi daging lemah" (Mrk. 14: 38).

Bukan satu kali, tetapi tiga kali Tuhan Yesus berdoa dan kembali menemukan mereka  tertidur.  Sungguh tragis!  Menandakan para murid tidak dapat merasakan kegentaran hati Yesus.  Mereka tidak menyadari bahwa malam itu akan menjadi malam yang paling menyengsarakan bagi Tuhan mereka. Akhirnya Tuhan Yesus pun berkata: “Cukuplah. Saatnya sudah tiba, lihat, Anak Manusia diserahkan ke tangan orang-orang berdosa. Bangunlah, marilah kita pergi. Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat"  (Mrk. 14: 41).

Sewaktu Tuhan Yesus masih berbicara, seketika itu juga muncul Yudas, salah seorang dari kedua belas murid Tuhan. Rupanya kebiasaan Yesus ke Getsemani memang sudah sangat dipahami oleh semua murid-Nya, termasuk Yudas salah satu murid-Nya yang tidak di ajak oleh Tuhan Yesus—yang diam-diam meninggalkan perjamuan (Yoh. 13: 30).

Di tengah kegelapan Getsemani yang sunyi, Yudas kemudian menghampiri Yesus, membungkukkan badannya di depan Gurunya, memegang tangan-Nya, menyapa-Nya dengan sebutan Rabbi lalu mencium-Nya dengan ciuman yang gugup namun bersemangat.   Kata “mencium” yang digunakan oleh Markus berasal dari kata “kataphileo,” yang artinya, Yudas mencium Tuhan Yesus dengan penuh “hasrat.”  Dengan kata lain, Yudas mencium pipi Tuhan Yesus layaknya murid yang hormat terhadap gurunya, layaknya ciuman yang tulus yang diberikan oleh seorang bapa kepada anaknya yang hilang dalam kisah anak yang hilang (Luk. 15:20).

Hal itu dilakukan Yudas sebagai upaya agar Tuhan Yesus tidak curiga dan sebagai tanda bagi orang-orang yang ingin menangkap Tuhan Yesus saat itu. Begitu sempurna Yudas mengemas pengkhianatannya seakan Tuhan Yesus bukan Allah yang Mahatahu, seakan-akan Tuhan Yesus adalah seorang yang lugu, polos dan mudah untuk dikelabui.

Benar saja, Yudas memang tidak datang seorang diri, ia datang  dengan ratusan orang  yang membawa pedang dan pentung (Mrk. 14: 43).   Sekonyong-konyong pula Getsemani yang gelap dan sunyi seketika berubah menjadi seramai “pasar malam.”  Yohanes 18: 3 menyebutkan rombongan mereka terdiri dari para penjaga Bait Allah yang disuruh oleh imam-imam kepala dan tua-tua Farisi plus sepasukan Romawi yang diminta oleh orang Saduki, yang berjumlah satu batalyon, yaitu sekitar 600 orang bersenjata lengkap yang siap untuk berperang. Belum lagi rakyat jelata yang terprovokasi, yang ingin melihat keramaian apa yang akan terjadi di Getsemani.

Keberadaan orang-orang yang dikerahkan untuk menangkap Tuhan Yesus menunjukkan seakan-akan Ia adalah orang yang sangat berbahaya.  Padahal sebenarnya para imam dan tua-tua Yahudi tidak berani dan tidak mampu membunuh-Nya karena mereka takut kepada orang banyak yang mengikut-Nya.  Untuk itu Ia menghardik para penyerang-Nya, "Sangkamu Aku ini penyamun, maka kamu datang lengkap dengan pedang dan pentung untuk menangkap Aku? Padahal tiap-tiap hari Aku ada di tengah-tengah kamu mengajar di Bait Allah, dan kamu tidak menangkap Aku. Tetapi haruslah digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci"  (Mrk. 14: 48, 49).

Frasa “Yesus sedang mengajar” dicatat oleh Markus sebanyak tujuh kali, banyak dicatat dalam bentuk present yang artinya kegiatan ini menekankan sebuah kebiasaan.  Itulah mengapa mereka tidak berani menangkap Tuhan Yesus di siang hari, sebaliknya mereka mengemas skenario waktu dan tempat yang pas, yakni waktu malam hari di Taman Getsemani untuk menangkap-Nya.

Tuhan Yesus sama sekali tidak menunjukkan kepanikan—sehingga Ia memanggil bala tentara sorga untuk menghadapi para musuh-Nya.  Tidak, Dia malah memberikan gambaran sesungguhnya  bahwa Dia mengetahui apa yang akan terjadi, “tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri” (Yoh. 10:18).  Tidak ada yang dapat dilakukan manusia tanpa seijin Allah.

Saat itu juga semua murid-Nya melarikan diri, meninggalkan Tuhan Yesus seorang diri menghadapi penderitaan penganiayaan.  Semua murid meninggalkan-Nya.  Petrus yang pernah berkata: “Biarpun mereka semua tergoncang imannya, aku tidak; Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau” (Mrk. 14: 29, 31) pun meninggalkan Tuhan Yesus, Yohanes dan Yakobus yang bersama-sama dengan Tuhan Yesus pun ikut menghilang meninggalkan-Nya.  Tak terkecuali seorang anak muda yang diduga adalah Markus ikut melarikan diri, merelakan diri telanjang daripada ditangkap bersama Yesus (Mrk. 14: 51-52).  Semua murid-Nya meninggalkan Dia.

Kata yang dipakai untuk ‘meninggalkan’ di sini menurut bahasa aslinya “aphentesberarti to abandon, artinya membuang begitu saja tanpa ada perasaan yang terkait, dibuang berarti ditolak.  Semua murid meninggalkan Dia seakan tidak pernah ada jalinan yang terjalin di antara mereka dengan-Nya.  Total, tak tersisa!  Semuanya meninggalkan Yesus.

Mengapa? Pertanyaan yang tersisa hanyalah: Mengapa . . . mengapa mereka yang pernah dekat, tidur, makan bareng selama hampir tiga setengah tahun bisa meninggalkan Tuhan Yesus menderita seorang diri?  Sebegitu teganyakah mereka?!  Jawabannya: karena para murid tidak sungguh-sungguh memperhatikan perkataan Yesus, mereka tidak peka terhadap petunjuk-Nya.

Tuhan Yesus sudah memperingatkan para murid tentang apa yang akan terjadi pada diri-Nya juga pada diri murid-murid, di antaranya: (1) ketika di perjamuan makan malam Tuhan Yesus berkata kepada mereka: "Kamu semua akan tergoncang imanmu” (14: 27), namun para murid tidak peka akan peringatan Tuhan Yesus, bahkan Petrus berkata “Biarpun mereka semua tergoncang imannya, aku tidak (14: 29) "Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau." (14: 31), padahal sebelumnya Tuhan Yesus sudah memperingatinya bahwa Petrus akan menyangkal-Nya tiga kali; (2) ketika di Getsemani, ketika Tuhan Yesus mau berdoa dan berkata Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah." Petrus, Yohanes dan Yakobus juga tidak peka akan curahan hati Yesus, maka bukannya berjaga-jaga dan berdoa mereka malah tertidur.

Kematian Tuhan Yesus yang mendekat bukanlah peristiwa tiba-tiba bagi-Nya, Dia telah mengetahui segalanya, bahkan Dia telah memberitahu kepada para murid agat mereka berjaga-jaga dan mempersiapkan diri mereka.  Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya untuk berjaga-jaga dan berdoa, bukan untuk mendoakan Yesus.  Melainkan untuk mereka sendiri.  Tuhan Yesus tahu bahwa mereka akan membutuhkan tenaga ekstra untuk menghadapi pencobaan di depan mereka nanti, salah satunya pencobaan yang akan  mendorong mereka meninggalkan-Nya dan menyangkal-Nya.

Namun apa yang terjadi?  Murid-murid justru meninggalkan Tuhan Yesus seorang diri. Apa yang mereka lakukan menunjukkan murid-murid tidak peka terhadap perkataan/peringatan Tuhan Yesus.

Refleksi
Kita mungkin tidak sedang menghadapi penganiayaan karena iman kita kepada Yesus.  Tetapi mungkin kita tengah menghadapi banyak masalah yang membuat kita down.   Kita berhadapan dengan orang-orang yang menjengkelkan yang harus kita kasihi dan layani; kita menghadapi beban hidup dan tugas-tugas yang sepertinya tidak ada solusi yang jelas; atau kita bekerja sama dengan orang-orang yang membuat kita down.  Kita harus ingat bahwa di waktu-waktu stress seperti itu, kita mudah untuk mengalami pencobaan.  Lewat firman-Nya, Tuhan Yesus berkata bagaimana kita bisa bertahan:

1)      Berjaga-jagalah (14: 34), kita harus senantiasa berjaga-jaga dan waspada terhadap setiap godaan yang bisa membuat kita jatuh (menjaga mata, telinga, mulut dan tangan serta kaki kita supaya kita tidak melangkah meninggalkan Tuhan).
2)      Berdoa kepada Allah (14: 35) ini merupakan cara kita untuk melatih kepekaan kita terhadap kehendak Allah (mengasah hati nurani).
3)      Mencari dukungan dari teman-teman dan seorang yang mengasihi kita (14: 33, 37, 40-41), ini adalah cara bagaimana kita membangun pertahanan  dan saling menolong satu dengan yang lain; ketika yang satu lemah, yang lain menguatkan (lingkungan positif dan persekutuan).
4)      Fokus kepada tujuan Allah dalam diri kita (14: 36), ini adalah cara bagaimana kita melakukan kehendak Allah dan bukan kehendak kita (cinta mula-mula, tujuan hidup).

Di manapun kita berada, kapanpun  waktunya, dan bagaimanapun keadaan kita, Tuhan menuntut kepekaan kita.  Memiliki kepekaan rohani akan menjaga kita untuk senantiasa berada di dalam lingkaran kasih karunia-Nya dan  menuntun kita selalu berada di jalur ketaatan yang  Tuhan kehendaki.
 Indikasi kedua seorang murid Tuhan berpotensi meninggalkan Tuhan:

2.      Ketika Kita Membiarkan Keinginan Daging Menguasai Jiwa Kita 
Injil Lukas mencatat bahwa Tuhan Yesus menyambut Yudas dengan berkata: Judas, are you betraying the Son of Man with a kiss?"  Sementara Markus sama sekali tidak menunjukkan reaksi Tuhan Yesus sedikitpun atas pengkhianatan yang dilakukan Yudas terhadap diri-Nya.  Diamnya Tuhan Yesus dikarenakan penulis injl Markus ingin mengajak para pembacanya fokus kepada penderitaan Yesus atas tindakan menyedihkan yang justru dilakukan orang-orang terdekat-Nya, yaitu murid-murid yang sudah bersama-sama-Nya kurang lebih 3, 5 tahun dan drama menyedihkan itu dipicu dengan sebuah ciuman pengkhianatan yang dilakukan oleh salah satu murid-Nya yang bernama Yudas Iskariot.
Mungkin kita bertanya siapa sesungguhnya Yudas Iskariot? Mengapa ia bisa melakukan pengkhianatan sekeji itu? Apakah Tuhan Yesus salah memilih orang untuk menjadi murid-Nya? 

Banyak orang melihat cara Tuhan Yesus memilih kedua belas murid-Nya sebagai sesuatu hal yang menimbulkan pertanyaan kontroversial.  Dari keduabelas murid yang dipilih-Nya, Tuhan Yesus tidak mencari murid di Bait Suci untuk mendapatkan sarjana-sarjana yang terbaik dan cemerlang, layaknya sarjana-sarjana lulusan STTAT (Sekolah Tinggi Teologi Ahli-ahli Taurat) ataupun dari kampus STTF (Sekolah Tinggi Teologi orang Farisi).  Tidak, sebaliknya justru Ia memilih sebelas dari dua belas murid-Nya dari sebuah kampung kecil yang tidak terkenal yang bernama Galilea.

Ia memilih Yakobus dan Yohanes yang disebut “anak-anak guruh,” yang artinya karena mereka memiliki watak yang bermulut besar.  Lalu Ia memilih Andreas yang malu-malu, Petrus yang kurang ajar karena mulutnya yang suka ceplas-ceplos.  Kemudian seorang mantan pemungut cukai, kaki tangan Romawi penjajah yang bernama Lewi yang sekarang kita kenal dengan nama Matius.  Belum lagi Tomas dan Natanael yang sinis, yang selalu meragukan Tuhan Yesus.  Dengan tangan-Nya sendiri, Tuhan Yesus memilih para murid-Nya dari kalangan pekerja kasar dan tidak berusaha menyembunyikan kekurangan mereka

Tetapi kalau kita melihat profil Yudas yang juga merupakan bagian dari kedua belas murid Tuhan Yesus, Yudas justru merupakan pilihan yang paling masuk akal untuk dijadikan seorang murid.  Pertama, ayahnya Simon Iskariot memiliki reputasi sebagai pejuang kemerdekaan.  Kedua, Yudas adalah seorang Zealot (anggota kelompok politik dan agama Yahudi yang secara terbuka menentang pemerintahan Romawi) yang loyal kepada Israel.  Sepertinya ia cukup memenuhi syarat untuk menjadi murid Tuhan. Di dalam perjalanannya menjadi murid Tuhan, ia mendapatkan pelatihan yang sama, keuntungan yang sama dari hubungan yang dekat dengan Yesus, sang Anak Allah, bahkan kuasa yang sama untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan yang merasuki orang-orang tertentu.  Sampai akhirnya, iapun mendapat kepercayaan untuk memegang dan mengatur keuangan di kelompok yang Tuhan Yesus pimpin (Yoh. 13:29).

Tetapi ada yang berbeda jauh di dalam lubuk hatinya,  ada sesuatu yang muncul di dalam diri murid yang baik dan terhormat ini yang membawanya ke jalan yang sangat berbeda dari murid-murid yang lain.  Tak seorangpun yang tahu secara pasti kapan hal itu terjadi—meskipun Yesus sudah memberikan petunjuk—sampai akhirnya terkuak dalam peristiwa Getsemani.

Sdr, perubahan hati Yudas mulai terdeteksi setelah peristiwa Tuhan Yesus memberi makan 5000 orang.  Peristiwa pelipatgandaan 5 roti dan 2 ikan yang mencukupi perut 5000 lebih manusia menstimulasi pikiran orang-orang yang ada saat itu, termasuk Yudas untuk menjadikan Tuhan Yesus sebagai Raja yang akan memerintah Israel dan menggulingkan Romawi.  Tetapi Alkitab menulis,  “Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri (Yoh. 6:15).

Sdr, taktala Yudas menyadari hal tersebut, ia serasa lunglai, pastilah ada kebingungan, ada kekecewaan di dalam hatinya.  Baru saja ia melihat sosok pemimpin yang ia cari, yang ia butuhkan, yang bisa memenuhi keinginannya, yang sesuai dengan kehendaknya.  Tetapi lewat kaca matanya sekarang ia melihat Tuhan Yesus bukanlah sosok pemimpin yang sesuai dengan dengan kehendaknya sebaliknya justru mengecewakannya.  Semenjak itu, separuh hati Yudas seakan beranjak meninggalkan keyakinannya terhadap Gurunya, Pemimpinnya.  Ketidakbergantungannya kepada Tuhan membuka pintu bagi Iblis untuk semakin berkuasa atas dirinya. Semua itu bisa terjadi karena ia not 100% trust in GOD.

 Indikasi yang berikutnya telihat sewaktu Tuhan Yesus mengunjungi seorang Farisi yang bernama Simon.  Ketika Tuhan Yesus tengah asyik mengobrol sambil menyantap makanan, tiba-tiba datang datang seorang gadis muda—Yohanes menulis gadis itu bernama Maria (Yoh. 12:3)—membawa buli-buli berisi minyak Narwastu yang sangat mahal harganya dan ia memecahkannya, kemudian mengurapi tubuh Yesus dari kepala sampai ujung kaki sehingga semerbak harum wangi minyak Narwastu tersebar ke seluruh ruangan rumah  tersebut.  Sungguh suatu bentuk penyembahan yang besar dari seorang yang merasa dosanya telah diampuni dan memperoleh keselamatan.

Tetapi, tiba-tiba saja ruangan yang harum semerbak itu diinterupsi oleh sebuah komentar yang datangnya dari si bendahara Yudas, katanya: "Untuk apa pemborosan minyak narwastu ini? Sebab minyak ini dapat dijual tiga ratus dinar lebih (upah tiga ratus hari) dan uangnya dapat diberikan kepada orang-orang miskin" (Mrk. 14:4-5).  Gila, uang tiga ratus dinar, yang setara dengan upah setahun seorang budak—anggaplah gaji pekerja Rp. 20.000/hari dikalikan 360 hari jadi Rp. 7.200.000 dibuang meresap lenyap begitu saja di celah-celah lantai batu.  Sungguh suatu pemborosan yang sama sekali tidak bijak, tahu keadaan lagi susah malah uang sebegitu besar dibuang-buang.  Mungkin itulah yang mendorong ia untuk berkomentar, namun sebenarnya dialah yang tidak mengerti arti penyembahan yang sesungguhnya.

Enam puluh tahun kemudian, Rasul Yohanes menulis mengenai maksud tersembunyi dari perkataan Yudas, “Hal itu dikatakannya bukan karena ia memerhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya” (Yoh. 12:6).

Yudas yang sudah memprovokasi orang-orang yang ada di sana saat itu dengan mengusung tema “pemborosan” ternyata malah mendapatkan teguran yang keras dari Tuhan Yesus.   Untuk kedua kalinya, Tuhan Yesus  mendiagnosa indikasi niat jahat Yudas, tetapi sayang seribu sayang, Yudas tidak peka.  Kritikan tajam yang diberikan Tuhan Yesus malah membuatnya menjadi marah.  Segera setelah jamuan makan selesai—mungkin sebelum tengah malam—kekesalan hati Yudas berubah menjadi kepahitan, dan menjelang pagi telah berubah menjadi konspirasi pembunuhan.

Injil Lukas menguraikan tentang pengkhianatan ini dengan kata-kata yang mengerikan: “Maka masuklah Iblis ke dalam Yudas, yang bernama Iskariot, seorang dari kedua belas murid itu.  Lalu pergilah Yudas kepada imam-imam kepala dan kepala-kepala pengawal Bait Allah dan berunding dengan mereka, bagaimana ia dapat menyerahkan Yesus kepada mereka” (Luk. 22:2-6).  Matius menjelaskan transaksi pengkhianatan itu bernilai tiga puluh uang perak.  Nilai yang sangat rendah dan Yudas keliru.  Ia sebenarnya tidak  sedang menjual Tuhan Yesus dengan harga tiga puluh keping perak, melainkan dirinya yang ia jual seharga itu kepada Iblis.

Charles Swindoll dalam bukunya Yesus mengatakan, perbuatan Yudas bukan semata-mata adalah karena Iblis, namun melibatkan lebih dari sekedar pengaruh jahat; dengan kata lain pribadi/karakter Yudas memang sudah jahat dari sananya.  Dari kedua belas murid itu, Iblis memilih satu orang yang memelihara dosa tersembunyi dan menjalani kehidupan ganda.  Swindoll mengilustrasikan lewat kalimat: “Yudas membuat pintu dan Iblis menyelinap masuk tanpa terlihat (lih. Kej. 4:7; 1Pet. 5:8).

Tuhan Yesus berbelas kasihan, sehingga Ia memberikan kesempatan kepada Yudas untuk bertobat.  Dia tahu untuk kesekian kalinya bahwa Yudas telah berencana menjual diri-Nya dengan sekantung uang perak.  Untuk terakhir kalinya Tuhan Yesus masih menegur Yudas beberapa waktu sebelum peristiwa Getsemani terjadi.  Yesus lalu bersaksi: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku (Yoh 13:21).  "Dialah itu, yang kepadanya Aku akan memberikan roti, sesudah Aku mencelupkannya." Sesudah berkata demikian Ia mengambil roti, mencelupkannya dan memberikannya kepada Yudas, anak Simon Iskariot (Yoh. 13: 26).

Yesus mengambil sepotong roti, lalu mencelupkannya ke dalam mangkok air garam—yang melambangkan air mata yang ditumpahkan oleh bangsa Israel dalam masa perbudakan di Mesir—dan kemudian dengan sengaja menyodorkannya ke mulut Yudas.  Yudas tersenyum ketika ia menerima isyarat tradisonal yang melambangkan persahabatan itu dan ketika ia menelannya, Alkitab mengatakan ia kerasukan Iblis lalu berkatalah Yesus dengan suara nyaring: "Apa yang hendak kauperbuat, perbuatlah dengan segera" (Yoh. 13:27).  Tawaran pertobatan Yesus disia-siakan oleh dosa kesombongan yang telah mengikatnya kuat.  Kehendak dagingnya sudah menguasai jiwanya.

Swindoll kembali berkata, apa yang dilakukan Yudas adalah manifestasi dari tipu daya Iblis yang diam dalam diri seorang yang tidak takut akan Allah.  Bukankah ketika kita mencoba menipu Allah dengan berbuat dosa, kita sedang memanifestasikan tipu daya Iblis bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang lugu, yang polos, yang dapat ditipu?  Bahkan yang dapat kita suap dengan dalih melakukan perbuatan baik, dengan dalih toleransi ketika kita berada di antara garis hitam dan putih, ataupun bahkan dengan dalih pelayanan yang  sebenarnya berisi hal-hal yang superficial.
Swindoll mengatakan bahwa ada setiap Yudas di dalam diri setiap kita.    Kita semua berpotensi menjadi Yudas Iskariot si pengkhianat ketika kita mencoba menipu Allah dengan perbuatan dosa yang dibungkus dengan kompromitas dan kemunafikan.  Iapun menuliskan empat prinsip yang perlu kita perhatikan lewat cerita tragis Yudas ini:

1.      Bergaul dengan kesalehan tidak menjamin kita akan menjadi saleh.  Artinya, ada lebih dari sekedar datang ke gereja setiap minggunya untuk sebuah pertobatan, untuk mau bertumbuh secara rohani dan untuk itu kita harus menundukkan diri kepada kebenaran yang kita terima melalui firman-Nya.  Harus ada prioritas untuk Tuhan di dalam kehidupan sehari-hari kita.  Bukan kebiasaan yang ada di dunia yang kita bawa ke gereja, tetapi apa yang kita dapat dari firman-Nya yang harus kita bagikan lewat kesaksian hidup kita, menjadi garam dan terang di tengah dunia.

2. Kerusakan moral secara tersembunyi adalah lebih mematikan daripada kerusakan moral yang terlihat.  Tidak ada kanker yang lebih mematikan daripada kanker yang tidak terdeteksi. Terus menerus memelihara sifat berdosa kita, dengan menyembunyikannya secara rapi dan gagal mengaku dosa  dan memohon pengampunan akan mengahalangi kita untuk mengalami pemulihan yang diberikan oleh Yesus melalui karunia keselamatan (bdk. 1Yoh. 1:9).

3. Iblis dan setan-setannya terus mencari kesempatan untuk menentang Tuhan.  Beberapa bagian  dalam Alkitab mengajarkan bahwa orang yang masih menyimpan dosa yang belum dibereskan adalah kendaraan yang ideal yang dapat dipakai Setan untuk menyerang orang dan rencana Allah (Kej. 4: 6-7; Ef. 4: 25-27; 5: 15-16; 1Pet. 5: 6-8).

4.Tidak ada kesedihan yang dapat dibandingkan dengan penyesalan yang dalam dari seseorang yang sudah terlambat mengetahui bahwa ia sudah mengenal Yesus namun dengan angkuh menolak teguran kasih-NyaAlat utama Iblis adalah penipuan, yang dipakainya untuk memutar-balikkan dosa yang tidak dibereskan serta motivasi yang egois untuk melaksanakan tujuan-tujuannya.

PENUTUP:
Tanpa adanya dukungan, Tuhan Yesus melangkah untuk diadili seorang diri, semuanya dilakukan seorang diri.  Klimaksnya memuncak ketika Dia tergantung di kayu salib, di sanalah Dia menjerit "Eloi, Eloi, lama sabakhtani?—Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?—Yesus mengalami persekutuan yang sempurna dengan Bapa, namun di kayu salib, sebagai manusia seutuhnya Dia ditinggalkan Sang Bapa.  Semuanya meninggalkan Dia justru karena Dia tidak ingin meninggalkan kita.  Ironis!

Louis Berkhof berkata, ketika berada di dunia, Tuhan Yesus bukan hanya mengalami penderitaan secara fisik, tetapi Tuhan Yesus mengalami penderitaan yang menyeluruh, yang menyangkut tubuh, jiwa dan roh.  Ketika Dia disalib, Dia diejek, Dia bisa saja turun dari salib dan meninggalkan hukuman-Nya. Tetapi itu tidak dilakukan-Nya, malahan Dia mengatakan Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34). Tuhan Yesus telah ditinggalkan untuk menghadapi penderitaan seorang diri tanpa relasi dengan Bapa atau persekutuan sahabat-sahabat-Nya, tetapi itu tidak membuat-Nya menyerah dan melarikan diri, meninggalkan kita.  Untuk sebuah karya penebusan yang agung, untuk melakukan kehendak Bapa-Nya di sorga Dia tetap bertahan dan tidak meninggalkan penderitaan-Nya di tengah jalan.  Siapkah kita memikul salib bersama dengan-Nya, atau kita ingin meninggalkan-Nya?

Ada kalanya sebagai pengikut Kristus kita mengalami masalah yang cukup berat.  Menghadapi tantangan kehidupan yang berpotensi membuat kita meninggalkan Yesus, bahkan ada kalanya kita sebagai orang Kristen  merasa tidak melakukan hal yang merugikan  orang lain, tetapi tetap saja kita mengalami apa yang dinamakan ketidakadilan, diskriminasi, intimidasi ataupun penganiayaan.

Bahkan adakalanya pencobaan yang kita alami bukanlah berupa penderitaan, tetapi justru kenikmatan dunia yang menggoda kita, “berkat” yang sepertinya dari Tuhan namun sebenarnya dibelokkan oleh Iblis sehingga secara perlahan-lahan ia menarik kita semakin jauh meninggalkan Tuhan Yesus.  Setan memiliki 1001 cara untuk menarik kita meninggalkan Yesus, oleh karenanya, firman Tuhan hari ini memberikan kita alarm: (1) agar kita melatih kepekaan kita secara rohani dengan berdoa dan berjaga-jaga dalam kebenaran firman-Nya; (2) mewaspadai keinginan daging kita agar tidak menghalangi keinginan roh kita dalam melakukan kehendak Allah.

Oleh sebab itu, janganlah kita membiarkan diri kita undur dari Tuhan, penulis Ibrani di 10: 25 berkata: Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.  Ketika kita menghadapi masalah, bahkan yang terberat sekalipun, ingatlah bahwa  Tuhan Yesus sudah terlebih dahulu menderita bagi saya juga bagi sdr.  Tuhan Yesus telah melewati semuanya, penderitaan dan penganiayaan bahkan maut, sebagaimana dikatakan dalam Ibrani 4:15 “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.”

Mohonlah ampun, jika dalam hidup kita, kita pernah dan masih meninggalkan-Nya, dan berbaliklah kepada-Nya. jangan sampai masalah yang menimpa kita membuat kita meninggalkan Tuhan sekali lagi daripada menghadapinya bersama Tuhan.  Jangan tinggalkan Dia sekali lagi.  Mari saudaraku, marilah kita setia kepada Kristus sebab seperti firman Tuhan berkata,” tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhirnya teguh berpegang pada kepercayaan dan pengharapan yang kita megahkan. Amin.

Senin, 06 Agustus 2012

IMAN vs PERBUATAN

ANTARA IMAN DAN PERBUATAN, DI PIHAK MANAKAH ANDA?

Rasul Paulus berkata: "Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat" (Rom 3:28).

 Sedangkan . . . rasul Yakobus berkata: "Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman" (Yak. 2:24).

John Stott mengatakan ada ketidakcocokan di antara kedua rasul tersebut. Tetapi ketidakcocokan tersebut lebih bersifat semu.

Alasan perbedaan mereka ialah karena konteks pengajaran mereka berbeda. Injil yang sama dengan penekanan yang berbeda. Musuh mereka sama yakni para pengajar palsu namun dengan perbedaan pandangan.

Rasul Paulus berhadapan dengan para penganut Yudaisme yang mengajarkan bahwa pembenaran lahir melalui perbuatan dengan menaati hukum Taurat. Oleh sebab itu, penekanan rasul Paulus adalah IMAN.

Sedangkan, lawan rasul Yakobus adalah kaum intelektual Yahudi yang mengajarkan bahwa pembenaran hanyala melalui iman ortodoks. Oleh karenanya, penekanan rasul Yakobus adalah PERBUATAN.

Perhatian penting yang harus dicermati adalah kita tidak dapat diselamatkan karena perbuatan, juga tanpa perbuatan.  Stott kembali mengatakan fungsi perbuatan bukan untuk memperoleh keselamatan tetapi untuk menunjukkannya, bukan untuk memperoleh keselamatan tetapi untuk membuktikannya. Jadi, ketika rasul Paulus menekankan iman yang melahirkan perbuatan, rasul Yakobus justru menekankan perbuatan yang lahir dari iman.

Kesimpulannya: IMAN TANPA PERBUATAN PADA HAKIKATNYA ADALAH MATI

 "Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati" (Yak. 2:26)

SEBUAH PARADIGMA MENGENAI PENGGEMBALAAN MASA LALU SAMPAI MASA KINI

"Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu" (1Pet. 5:2-3).

(1) Semangat pelayanan penggembalaan haruslah SUKARELA: melayani "jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah." Konsepnya bukan keterpaksaan tetapi kerelaan hati.

(2) Motivasi untuk menggembalakan harus TANPA PAMRIH: "jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri." Konsepnya bukan untuk mencari uang dan menumpuk harta melainkan murni pelayanan yang tulus.

(3) Perilaku gembala haruslah perilaku yang RENDAH HATI: "janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu." Konsepnya bukan untuk menjadi tuan atas gembalaannya melainkan menjadi pemimpin yang melayani dengan penuh pengabdian dan rendah hati.

Kesimpulannya, konsep penggembalaan dari dulu sampai kini haruslah MEMIMPIN BUKAN DENGAN KEKUASAAN TETAPI DENGAN TELADAN, yakni teladan yang telah ditunjukkan Tuhan Yesus Sang Gembala Agung.

 "Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya (Mrk. 10: 42-44)

Devosi

KEKUATAN YANG DATANG DARI TUHAN
Baca: 1 Samuel17:40-51

BERDIAM SEJENAK DAN PIKIRKAN
1. Bagaimanakah keadaan Daud ketika ia akan melawan Goliat? (42)
2. Dengan apakah akhirnya Daud mengalahkan Goliat? (50)
3. Ketakutan terbesar apakah yang sekarang sedang menghadang saudara? Maukah saudara menghadapinya dengan nama Tuhan?

...
TELUSURI DAN GALILAH
Jika ada seorang anak kelas 3 Sekolah Dasar, yakni sekitar 9 tahun diperhadapkan dengan Ade Rai, sang binaragawan yang bertubuh tinggi besar, kira-kira jika mereka berkelahi siapa yang menurut saudara yang akan menang? Saya pikir kita semua memiliki pendapat yang sama, kita prediksikan bahwa Ade Rai yang bertubuh besar pasti dengan mudah akan memenangkan perkelahian tersebut. Mengapa? Karena begitulah hukum dunia yang berlaku, yang besar selalu mengalahkan yang kecil.

Tetapi bagaimana dengan perspektif Alkitab? Di dalam sebuah pertarungan terbesar sepanjang abad, siapa yang tidak pernah mendengar pertarungan antara Daud dan Goliat? Hampir setiap sekolah minggu di seluruh dunia tidak luput untuk menceritakan kisah sejarah yang apik ini. Secara kasat mata, memang Daud yang masih muda sepertinya bukan lawan yang seimbang jika dibandingkan dengan Goliat yang tingginya hampir 3 meter. Siapakah Daud? Ia cuma seorang anak remaja penggembala domba. Selain masih "sekia" alias kecil, ia juga tidak punya pengalaman berperang.

Saul dengan sedikit menyindir mengatakannya, "Tidak mungkin engkau dapat menghadapi orang Filistin itu untuk melawan dia, sebab engkau masih muda, sedang dia (Goliat) sejak dari masa mudanya telah menjadi prajurit" (ayat 33). Betul, Alkitab sekali lagi mengonfirmasi Daud masih sangat muda, Goliat yang melihat Daud yang maju juga mengejeknya sebagai anak kecil (ayat 42).

Tetapi poin yang mencengangkan bagi kita, mengapa Daud si anak remaja ini begitu berani, apa yang mendorongnya begitu percaya diri bisa mengalahkan si raksasa Goliat? Karena Daud meyakini kekuatan Tuhan akan menyertainya. Sebelum bertarung ia berkata di depan prajurit Israel, "TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu" (ayat 37). Kemudian kepada lawannya ia berkata, "Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu” (ayat 45).

Daud memahami dengan jelas bahwa sekilas tubuhnya yang kecil tidak mampu untuk melawan raksasa seperti Goliat, tetapi Tuhan yang Besar yang menyertainyalah yang akan menungganglanggangkan Goliat. Ia meyakini kekuatan yang sesungguhnya datang dari Tuhan.

Intimidasi apakah yang tengah saudara alami saat ini? Kesulitan, permasalahan yang menghadang saudara mungkin terlihat “sangat raksasa” di hadapan saudara, sehingga saudara merasa putus asa dan frustrasi untuk menghadapinya.

Tetapi ...

Tuhan adalah Sumber Kekuatan, Ia-lah yang akan menyelamatkan saudara dari kesulitan yang saudara hadapi, tetapi Ia menuntut saudara untuk percaya dan menyerahkan permasalahan itu kepada Dia. Percayalah seperti Daud yang mempercayai Allah bahwa Allah yang akan menghantam musuh raksasanya. Percayalah kepada Allah dan mohon kekuatan-Nya di dalam saudara menghadapi raksasa kesulitan yang menghadang saudara dan alami kuasa kekuatan-Nya.

Amin

(Hotz)