PENDAHULUAN
Suatu kali di Global TV disiarkan sebuah berita
mengenai seorang ibu yang menemukan seorang bayi perempuan yang sedang
menangis, kira-kira berusia dua bulanan, diletakkan di dalam sebuah dus
Aqua, ditinggalkan di dalam sebuah gubuk. Lalu di dus tersebut ada secarik kertas yang bertuliskan:
“Nama anak ini Feby, tolong rawat dia, saya melakukan ini karena himpitan ekonomi. Ita.”
Karena
alasan himpitan ekonomi ataupun karena ancaman masalah yang
dihadapinya, seorang ibu bisa tega meninggalkan bayi yang tidak bersalah
menangis seorang diri di sebuah gubuk. Sang bayi hanya bisa menangis
berharap ada yang mendengar tangisannya. Oh, ini hanyalah satu dari
ribuan kasus yang serupa yang terjadi dalam kehidupan di dunia ini.
Inilah
peristiwa yang masih terjadi dari zaman ke zaman. Akibat dosa, manusia
mampu melakukan kesalahan yang fatal dalam hidupnya. Seorang manusia
bisa egois dan kejam terhadap temannya atau saudaranya bahkan darah
dagingnya karena tekanan masalah yang menimpanya. Bahkan bukan tidak
mungkin ia pun mampu meninggalkan Tuhan karena keegoisannya. Ya, bukan
tidak mungkin seorang murid Tuhan bisa mengkhianati penggilannya,
melarikan diri meninggalkan Tuhan karena masalah yang menghadangnya.
Namun walau bagaimanapun Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkan umat yang dikasihi-Nya. Sekalipun Ia ditinggalkan, Ia dikhianati, Ia tetap mengasihi murid-murid-Nya.
Pertanyaannya: mengapa seorang murid Tuhan bisa meninggalkan panggilan-Nya?
Kira-kira apa indikasi seseorang mampu meninggalkan Tuhan? Indikasi pertama:
1. Ketika Kita Sudah Tidak Lagi Memiliki Kepekaan Rohani
Saya
percaya tentu tidak mudah bagi seseorang jika ia harus menghadapi
masalah yang berat seorang diri. Ketika ia berada di ambang masalah
yang menimpanya, maka yang paling ia butuhkan adalah sebuah dukungan,
terlebih dukungan dari orang-orang yang dikasihinya. Saya berpikir
inilah yang juga sedang dibutuhkan oleh Tuhan Yesus—ketika Ia akan
menjalani Jalan Penderitaan menuju tiang salib—yaitu sebuah dukungan
dari orang-orang yang Ia kasihi. Kamis malam, setelah Tuhan Yesus
bersama kedua belas murid-Nya mengadakan perjamuan malam—dalam rangka
memperingati keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir yang atau disebut
juga dengan hari raya Paskah —Tuhan Yesus mengajak ketiga murid yang
terdekat dengan-Nya yaitu: Petrus, Yohanes dan Yakobus untuk
menemani-Nya pergi ke suatu tempat yang bernama Taman Getsemani.
Taman
Getsemani adalah sebuah taman yang berada di bawah kaki Bukit Zaitun,
merupakan sebuah tempat peristirahatan yang sangat disukai oleh Tuhan
Yesus, (Yoh.18:2). Namun, pada malam hari itu, di Kamis malam, antara
pukul 11-12 malam, dua hari menjelang bulan purnama, Getsemani
kemungkinan menjadi tempat yang paling ingin dihindari oleh Tuhan Yesus.
Mengapa?
Karena di sanalah dan pada saat itulah akan dimulainya penderitaan
Yesus yang terdalam, penderitaan menuju kematian-Nya di tiang salib—yang
harus Ia jalani seorang diri tanpa ada dukungan dari orang-orang yang
dikasihi-Nya. Di sana Tuhan Yesus berkata kepada mereka, kata-Nya: "
Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah" (Mrk. 14: 34).
Ironisnya,
ketika Tuhan Yesus membutuhkan dukungan dari murid-murid-Nya, dengan
meminta mereka untuk berjaga-jaga taktala Dia berdoa, Ia justru
menemukan mereka tengah tertidur. Petrus, salah satu murid yang
terkenal suka
omong besar adalah yang paling pertama ditegur, "
Simon, sedang tidurkah engkau? Tidakkah engkau sanggup berjaga-jaga satu jam? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan; roh memang penurut, tetapi daging lemah" (Mrk. 14: 38).
Bukan
satu kali, tetapi tiga kali Tuhan Yesus berdoa dan kembali menemukan
mereka tertidur. Sungguh tragis! Menandakan para murid tidak dapat
merasakan kegentaran hati Yesus. Mereka tidak menyadari bahwa malam itu
akan menjadi malam yang paling menyengsarakan bagi Tuhan mereka.
Akhirnya Tuhan Yesus pun berkata:
“Cukuplah. Saatnya sudah tiba,
lihat, Anak Manusia diserahkan ke tangan orang-orang berdosa. Bangunlah,
marilah kita pergi. Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat" (Mrk. 14: 41).
Sewaktu
Tuhan Yesus masih berbicara, seketika itu juga muncul Yudas, salah
seorang dari kedua belas murid Tuhan. Rupanya kebiasaan Yesus ke
Getsemani memang sudah sangat dipahami oleh semua murid-Nya, termasuk
Yudas salah satu murid-Nya yang tidak di ajak oleh Tuhan Yesus—yang
diam-diam meninggalkan perjamuan (Yoh. 13: 30).
Di
tengah kegelapan Getsemani yang sunyi, Yudas kemudian menghampiri Yesus,
membungkukkan badannya di depan Gurunya, memegang tangan-Nya,
menyapa-Nya dengan sebutan
Rabbi lalu mencium-Nya dengan ciuman yang gugup namun bersemangat. Kata “mencium” yang digunakan oleh Markus berasal dari kata “
kataphileo,”
yang artinya, Yudas mencium Tuhan Yesus dengan penuh “hasrat.” Dengan
kata lain, Yudas mencium pipi Tuhan Yesus layaknya murid yang hormat
terhadap gurunya, layaknya ciuman yang tulus yang diberikan oleh seorang
bapa kepada anaknya yang hilang dalam kisah anak yang hilang (Luk.
15:20).
Hal itu dilakukan Yudas sebagai upaya agar Tuhan
Yesus tidak curiga dan sebagai tanda bagi orang-orang yang ingin
menangkap Tuhan Yesus saat itu. Begitu sempurna Yudas mengemas
pengkhianatannya seakan Tuhan Yesus bukan Allah yang Mahatahu,
seakan-akan Tuhan Yesus adalah seorang yang lugu, polos dan mudah untuk
dikelabui.
Benar saja, Yudas memang tidak datang seorang
diri, ia datang dengan ratusan orang yang membawa pedang dan pentung
(Mrk. 14: 43). Sekonyong-konyong pula Getsemani yang gelap dan sunyi
seketika berubah menjadi seramai “pasar malam.” Yohanes 18: 3
menyebutkan rombongan mereka terdiri dari para penjaga Bait Allah yang
disuruh oleh imam-imam kepala dan tua-tua Farisi
plus sepasukan
Romawi yang diminta oleh orang Saduki, yang berjumlah satu batalyon,
yaitu sekitar 600 orang bersenjata lengkap yang siap untuk berperang.
Belum lagi rakyat jelata yang terprovokasi, yang ingin melihat keramaian
apa yang akan terjadi di Getsemani.
Keberadaan
orang-orang yang dikerahkan untuk menangkap Tuhan Yesus menunjukkan
seakan-akan Ia adalah orang yang sangat berbahaya. Padahal sebenarnya
para imam dan tua-tua Yahudi tidak berani dan tidak mampu membunuh-Nya
karena mereka takut kepada orang banyak yang mengikut-Nya. Untuk itu Ia
menghardik para penyerang-Nya,
"Sangkamu Aku ini penyamun, maka kamu datang lengkap dengan pedang dan pentung untuk menangkap Aku?
Padahal tiap-tiap hari Aku ada di tengah-tengah kamu mengajar di Bait
Allah, dan kamu tidak menangkap Aku. Tetapi haruslah digenapi yang
tertulis dalam Kitab Suci" (Mrk. 14: 48, 49).
Frasa “Yesus sedang mengajar” dicatat oleh Markus sebanyak tujuh kali, banyak dicatat dalam bentuk
present
yang artinya kegiatan ini menekankan sebuah kebiasaan. Itulah mengapa
mereka tidak berani menangkap Tuhan Yesus di siang hari, sebaliknya
mereka mengemas skenario waktu dan tempat yang pas, yakni waktu malam
hari di Taman Getsemani untuk menangkap-Nya.
Tuhan Yesus
sama sekali tidak menunjukkan kepanikan—sehingga Ia memanggil bala
tentara sorga untuk menghadapi para musuh-Nya. Tidak, Dia malah
memberikan gambaran sesungguhnya bahwa Dia mengetahui apa yang akan
terjadi, “
tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri” (Yoh. 10:18). Tidak ada yang dapat dilakukan manusia tanpa seijin Allah.
Saat
itu juga semua murid-Nya melarikan diri, meninggalkan Tuhan Yesus
seorang diri menghadapi penderitaan penganiayaan. Semua murid
meninggalkan-Nya. Petrus yang pernah berkata: “
Biarpun mereka semua tergoncang imannya, aku tidak; Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau”
(Mrk. 14: 29, 31) pun meninggalkan Tuhan Yesus, Yohanes dan Yakobus
yang bersama-sama dengan Tuhan Yesus pun ikut menghilang
meninggalkan-Nya. Tak terkecuali seorang anak muda yang diduga adalah
Markus ikut melarikan diri, merelakan diri telanjang daripada ditangkap
bersama Yesus (Mrk. 14: 51-52). Semua murid-Nya meninggalkan Dia.
Kata yang dipakai untuk ‘meninggalkan’ di sini menurut bahasa aslinya “
aphentes” berarti
to abandon,
artinya membuang begitu saja tanpa ada perasaan yang terkait, dibuang
berarti ditolak. Semua murid meninggalkan Dia seakan tidak pernah ada
jalinan yang terjalin di antara mereka dengan-Nya. Total, tak tersisa!
Semuanya meninggalkan Yesus.
Mengapa?
Pertanyaan yang tersisa hanyalah: Mengapa . . . mengapa mereka yang
pernah dekat, tidur, makan bareng selama hampir tiga setengah tahun bisa
meninggalkan Tuhan Yesus menderita seorang diri? Sebegitu teganyakah
mereka?! Jawabannya: karena para murid tidak sungguh-sungguh
memperhatikan perkataan Yesus, mereka tidak peka terhadap petunjuk-Nya.
Tuhan
Yesus sudah memperingatkan para murid tentang apa yang akan terjadi
pada diri-Nya juga pada diri murid-murid, di antaranya: (1) ketika di
perjamuan makan malam Tuhan Yesus berkata kepada mereka:
"Kamu semua akan tergoncang imanmu” (14: 27), namun para murid tidak peka akan peringatan Tuhan Yesus, bahkan Petrus berkata “
Biarpun mereka semua tergoncang imannya, aku tidak (14: 29)
"Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau." (14:
31), padahal sebelumnya Tuhan Yesus sudah memperingatinya bahwa Petrus
akan menyangkal-Nya tiga kali; (2) ketika di Getsemani, ketika Tuhan
Yesus mau berdoa dan berkata
Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah." Petrus,
Yohanes dan Yakobus juga tidak peka akan curahan hati Yesus, maka
bukannya berjaga-jaga dan berdoa mereka malah tertidur.
Kematian
Tuhan Yesus yang mendekat bukanlah peristiwa tiba-tiba bagi-Nya, Dia
telah mengetahui segalanya, bahkan Dia telah memberitahu kepada para
murid agat mereka berjaga-jaga dan mempersiapkan diri mereka. Tuhan
Yesus berkata kepada murid-murid-Nya untuk berjaga-jaga dan berdoa,
bukan
untuk mendoakan Yesus. Melainkan untuk mereka sendiri. Tuhan Yesus
tahu bahwa mereka akan membutuhkan tenaga ekstra untuk menghadapi
pencobaan di depan mereka nanti, salah satunya pencobaan yang akan
mendorong mereka meninggalkan-Nya dan menyangkal-Nya.
Namun
apa yang terjadi? Murid-murid justru meninggalkan Tuhan Yesus seorang
diri. Apa yang mereka lakukan menunjukkan murid-murid tidak peka
terhadap perkataan/peringatan Tuhan Yesus.
Refleksi
Kita
mungkin tidak sedang menghadapi penganiayaan karena iman kita kepada
Yesus. Tetapi mungkin kita tengah menghadapi banyak masalah yang
membuat kita
down. Kita berhadapan dengan orang-orang yang
menjengkelkan yang harus kita kasihi dan layani; kita menghadapi beban
hidup dan tugas-tugas yang sepertinya tidak ada solusi yang jelas; atau
kita bekerja sama dengan orang-orang yang membuat kita
down.
Kita harus ingat bahwa di waktu-waktu stress seperti itu, kita mudah
untuk mengalami pencobaan. Lewat firman-Nya, Tuhan Yesus berkata
bagaimana kita bisa bertahan:
1)
Berjaga-jagalah
(14: 34), kita harus senantiasa berjaga-jaga dan waspada terhadap
setiap godaan yang bisa membuat kita jatuh (menjaga mata, telinga, mulut
dan tangan serta kaki kita supaya kita tidak melangkah meninggalkan
Tuhan).
2)
Berdoa kepada Allah (14: 35) ini merupakan cara kita untuk melatih kepekaan kita terhadap kehendak Allah (mengasah hati nurani).
3)
Mencari dukungan dari teman-teman dan seorang yang mengasihi kita
(14: 33, 37, 40-41), ini adalah cara bagaimana kita membangun
pertahanan dan saling menolong satu dengan yang lain; ketika yang satu
lemah, yang lain menguatkan (lingkungan positif dan persekutuan).
4)
Fokus kepada tujuan Allah dalam diri kita (14: 36), ini adalah cara bagaimana kita melakukan kehendak Allah dan bukan kehendak kita (cinta mula-mula, tujuan hidup).
Di
manapun kita berada, kapanpun waktunya, dan bagaimanapun keadaan kita,
Tuhan menuntut kepekaan kita. Memiliki kepekaan rohani akan menjaga
kita untuk senantiasa berada di dalam lingkaran kasih karunia-Nya dan
menuntun kita selalu berada di jalur ketaatan yang Tuhan kehendaki.
Indikasi kedua seorang murid Tuhan berpotensi meninggalkan Tuhan:
2. Ketika Kita Membiarkan Keinginan Daging Menguasai Jiwa Kita
Injil Lukas mencatat bahwa Tuhan Yesus menyambut Yudas dengan berkata:
“Judas, are you betraying the Son of Man with a kiss?" Sementara
Markus sama sekali tidak menunjukkan reaksi Tuhan Yesus sedikitpun atas
pengkhianatan yang dilakukan Yudas terhadap diri-Nya. Diamnya Tuhan
Yesus dikarenakan penulis injl Markus ingin mengajak para pembacanya
fokus kepada penderitaan Yesus atas tindakan menyedihkan yang justru
dilakukan orang-orang terdekat-Nya, yaitu murid-murid yang sudah
bersama-sama-Nya kurang lebih 3, 5 tahun dan drama menyedihkan itu
dipicu dengan sebuah ciuman pengkhianatan yang dilakukan oleh salah satu
murid-Nya yang bernama Yudas Iskariot.
Mungkin kita bertanya
siapa sesungguhnya Yudas Iskariot? Mengapa ia bisa melakukan
pengkhianatan sekeji itu? Apakah Tuhan Yesus salah memilih orang untuk
menjadi murid-Nya?
Banyak orang melihat cara Tuhan
Yesus memilih kedua belas murid-Nya sebagai sesuatu hal yang menimbulkan
pertanyaan kontroversial. Dari keduabelas murid yang dipilih-Nya,
Tuhan Yesus tidak mencari murid di Bait Suci untuk mendapatkan
sarjana-sarjana yang terbaik dan cemerlang, layaknya sarjana-sarjana
lulusan STTAT (Sekolah Tinggi Teologi Ahli-ahli Taurat) ataupun dari
kampus STTF (Sekolah Tinggi Teologi orang Farisi). Tidak, sebaliknya
justru Ia memilih sebelas dari dua belas murid-Nya dari sebuah kampung
kecil yang tidak terkenal yang bernama Galilea.
Ia
memilih Yakobus dan Yohanes yang disebut “anak-anak guruh,” yang artinya
karena mereka memiliki watak yang bermulut besar. Lalu Ia memilih
Andreas yang malu-malu, Petrus yang kurang ajar karena mulutnya yang
suka
ceplas-ceplos. Kemudian seorang mantan pemungut cukai,
kaki tangan Romawi penjajah yang bernama Lewi yang sekarang kita kenal
dengan nama Matius. Belum lagi Tomas dan Natanael yang sinis, yang
selalu meragukan Tuhan Yesus. Dengan tangan-Nya sendiri, Tuhan Yesus
memilih para murid-Nya dari kalangan pekerja kasar dan tidak berusaha
menyembunyikan kekurangan mereka
Tetapi kalau kita melihat
profil Yudas yang juga merupakan bagian dari kedua belas murid Tuhan
Yesus, Yudas justru merupakan pilihan yang paling masuk akal untuk
dijadikan seorang murid.
Pertama, ayahnya Simon Iskariot memiliki reputasi sebagai pejuang kemerdekaan.
Kedua, Yudas adalah seorang
Zealot
(anggota kelompok politik dan agama Yahudi yang secara terbuka
menentang pemerintahan Romawi) yang loyal kepada Israel. Sepertinya ia
cukup memenuhi syarat untuk menjadi murid Tuhan. Di dalam perjalanannya
menjadi murid Tuhan, ia mendapatkan pelatihan yang sama, keuntungan yang
sama dari hubungan yang dekat dengan Yesus, sang Anak Allah, bahkan
kuasa yang sama untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan yang
merasuki orang-orang tertentu. Sampai akhirnya, iapun mendapat
kepercayaan untuk memegang dan mengatur keuangan di kelompok yang Tuhan
Yesus pimpin (Yoh. 13:29).
Tetapi ada yang berbeda jauh
di dalam lubuk hatinya, ada sesuatu yang muncul di dalam diri murid
yang baik dan terhormat ini yang membawanya ke jalan yang sangat berbeda
dari murid-murid yang lain. Tak seorangpun yang tahu secara pasti
kapan hal itu terjadi—meskipun Yesus sudah memberikan petunjuk—sampai
akhirnya terkuak dalam peristiwa Getsemani.
Sdr, perubahan
hati Yudas mulai terdeteksi setelah peristiwa Tuhan Yesus memberi makan
5000 orang. Peristiwa pelipatgandaan 5 roti dan 2 ikan yang mencukupi
perut 5000 lebih manusia menstimulasi pikiran orang-orang yang ada saat
itu, termasuk Yudas untuk menjadikan Tuhan Yesus sebagai Raja yang akan
memerintah Israel dan menggulingkan Romawi. Tetapi Alkitab menulis, “
Karena
Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan
paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang
diri”
(Yoh. 6:15).
Sdr, taktala Yudas
menyadari hal tersebut, ia serasa lunglai, pastilah ada kebingungan, ada
kekecewaan di dalam hatinya. Baru saja ia melihat sosok pemimpin yang
ia cari, yang ia butuhkan, yang bisa memenuhi keinginannya, yang sesuai
dengan kehendaknya. Tetapi lewat kaca matanya sekarang ia melihat Tuhan
Yesus bukanlah sosok pemimpin yang sesuai dengan dengan kehendaknya
sebaliknya justru mengecewakannya. Semenjak itu, separuh hati Yudas
seakan beranjak meninggalkan keyakinannya terhadap Gurunya,
Pemimpinnya. Ketidakbergantungannya kepada Tuhan membuka pintu bagi
Iblis untuk semakin berkuasa atas dirinya. Semua itu bisa terjadi karena
ia
not 100% trust in GOD.
Indikasi yang
berikutnya telihat sewaktu Tuhan Yesus mengunjungi seorang Farisi yang
bernama Simon. Ketika Tuhan Yesus tengah asyik mengobrol sambil
menyantap makanan, tiba-tiba datang datang seorang gadis muda—Yohanes
menulis gadis itu bernama Maria (Yoh. 12:3)—membawa buli-buli berisi
minyak Narwastu yang sangat mahal harganya dan ia memecahkannya,
kemudian mengurapi tubuh Yesus dari kepala sampai ujung kaki sehingga
semerbak harum wangi minyak Narwastu tersebar ke seluruh ruangan rumah
tersebut. Sungguh suatu bentuk penyembahan yang besar dari seorang yang
merasa dosanya telah diampuni dan memperoleh keselamatan.
Tetapi,
tiba-tiba saja ruangan yang harum semerbak itu diinterupsi oleh sebuah
komentar yang datangnya dari si bendahara Yudas, katanya:
"Untuk apa pemborosan minyak narwastu ini? Sebab minyak ini dapat dijual tiga ratus dinar lebih (upah tiga ratus hari)
dan uangnya dapat diberikan kepada orang-orang miskin" (Mrk.
14:4-5). Gila, uang tiga ratus dinar, yang setara dengan upah setahun
seorang budak—anggaplah gaji pekerja Rp. 20.000/hari dikalikan 360 hari
jadi Rp. 7.200.000 dibuang meresap lenyap begitu saja di celah-celah
lantai batu. Sungguh suatu pemborosan yang sama sekali tidak bijak,
tahu keadaan lagi susah malah uang sebegitu besar dibuang-buang.
Mungkin itulah yang mendorong ia untuk berkomentar, namun sebenarnya
dialah yang tidak mengerti arti penyembahan yang sesungguhnya.
Enam puluh tahun kemudian, Rasul Yohanes menulis mengenai maksud tersembunyi dari perkataan Yudas, “
Hal
itu dikatakannya bukan karena ia memerhatikan nasib orang-orang miskin,
melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang
yang disimpan dalam kas yang dipegangnya” (Yoh. 12:6).
Yudas
yang sudah memprovokasi orang-orang yang ada di sana saat itu dengan
mengusung tema “pemborosan” ternyata malah mendapatkan teguran yang
keras dari Tuhan Yesus. Untuk kedua kalinya, Tuhan Yesus mendiagnosa
indikasi niat jahat Yudas, tetapi sayang seribu sayang, Yudas tidak
peka. Kritikan tajam yang diberikan Tuhan Yesus malah membuatnya
menjadi marah. Segera setelah jamuan makan selesai—mungkin sebelum
tengah malam—kekesalan hati Yudas berubah menjadi kepahitan, dan
menjelang pagi telah berubah menjadi konspirasi pembunuhan.
Injil Lukas menguraikan tentang pengkhianatan ini dengan kata-kata yang mengerikan: “
Maka
masuklah Iblis ke dalam Yudas, yang bernama Iskariot, seorang dari
kedua belas murid itu. Lalu pergilah Yudas kepada imam-imam kepala dan
kepala-kepala pengawal Bait Allah dan berunding dengan mereka, bagaimana
ia dapat menyerahkan Yesus kepada mereka” (Luk. 22:2-6). Matius
menjelaskan transaksi pengkhianatan itu bernilai tiga puluh uang perak.
Nilai yang sangat rendah dan Yudas keliru. Ia sebenarnya tidak sedang
menjual Tuhan Yesus dengan harga tiga puluh keping perak, melainkan
dirinya yang ia jual seharga itu kepada Iblis.
Charles
Swindoll dalam bukunya Yesus mengatakan, perbuatan Yudas bukan
semata-mata adalah karena Iblis, namun melibatkan lebih dari sekedar
pengaruh jahat; dengan kata lain
pribadi/karakter Yudas
memang sudah jahat dari sananya. Dari kedua belas murid itu, Iblis
memilih satu orang yang memelihara dosa tersembunyi dan menjalani
kehidupan ganda. Swindoll mengilustrasikan lewat kalimat: “
Yudas membuat pintu dan Iblis menyelinap masuk tanpa terlihat” (lih. Kej. 4:7; 1Pet. 5:8).
Tuhan
Yesus berbelas kasihan, sehingga Ia memberikan kesempatan kepada Yudas
untuk bertobat. Dia tahu untuk kesekian kalinya bahwa Yudas telah
berencana menjual diri-Nya dengan sekantung uang perak. Untuk terakhir
kalinya Tuhan Yesus masih menegur Yudas beberapa waktu sebelum peristiwa
Getsemani terjadi.
Yesus lalu bersaksi: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku” (Yoh 13:21).
"Dialah
itu, yang kepadanya Aku akan memberikan roti, sesudah Aku
mencelupkannya." Sesudah berkata demikian Ia mengambil roti,
mencelupkannya dan memberikannya kepada Yudas, anak Simon Iskariot” (Yoh. 13: 26).
Yesus
mengambil sepotong roti, lalu mencelupkannya ke dalam mangkok air
garam—yang melambangkan air mata yang ditumpahkan oleh bangsa Israel
dalam masa perbudakan di Mesir—dan kemudian dengan sengaja
menyodorkannya ke mulut Yudas. Yudas tersenyum ketika ia menerima
isyarat tradisonal yang melambangkan persahabatan itu dan ketika ia
menelannya, Alkitab mengatakan
ia kerasukan Iblis lalu berkatalah Yesus dengan suara nyaring:
"Apa yang hendak kauperbuat, perbuatlah dengan segera"
(Yoh. 13:27). Tawaran pertobatan Yesus disia-siakan oleh dosa
kesombongan yang telah mengikatnya kuat. Kehendak dagingnya sudah
menguasai jiwanya.
Swindoll kembali berkata, apa yang
dilakukan Yudas adalah manifestasi dari tipu daya Iblis yang diam dalam
diri seorang yang tidak takut akan Allah. Bukankah ketika kita mencoba
menipu Allah dengan berbuat dosa, kita sedang memanifestasikan tipu daya
Iblis bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang lugu, yang polos,
yang dapat ditipu? Bahkan yang dapat kita suap dengan dalih melakukan
perbuatan baik, dengan dalih toleransi ketika kita berada di antara
garis hitam dan putih, ataupun bahkan dengan dalih pelayanan yang
sebenarnya berisi hal-hal yang
superficial.
Swindoll
mengatakan bahwa ada setiap Yudas di dalam diri setiap kita. Kita
semua berpotensi menjadi Yudas Iskariot si pengkhianat ketika kita
mencoba menipu Allah dengan perbuatan dosa yang dibungkus dengan
kompromitas dan kemunafikan. Iapun menuliskan empat prinsip yang perlu
kita perhatikan lewat cerita tragis Yudas ini:
1.
Bergaul dengan kesalehan tidak menjamin kita akan menjadi saleh.
Artinya, ada lebih dari sekedar datang ke gereja setiap minggunya untuk
sebuah pertobatan, untuk mau bertumbuh secara rohani dan untuk itu kita
harus menundukkan diri kepada kebenaran yang kita terima melalui
firman-Nya. Harus ada prioritas untuk Tuhan di dalam kehidupan
sehari-hari kita. Bukan kebiasaan yang ada di dunia yang kita bawa ke
gereja, tetapi apa yang kita dapat dari firman-Nya yang harus kita
bagikan lewat kesaksian hidup kita, menjadi garam dan terang di tengah
dunia.
2.
Kerusakan moral secara tersembunyi adalah lebih mematikan daripada kerusakan moral yang terlihat.
Tidak ada kanker yang lebih mematikan daripada kanker yang tidak
terdeteksi. Terus menerus memelihara sifat berdosa kita, dengan
menyembunyikannya secara rapi dan gagal mengaku dosa dan memohon
pengampunan akan mengahalangi kita untuk mengalami pemulihan yang
diberikan oleh Yesus melalui karunia keselamatan (bdk. 1Yoh. 1:9).
3.
Iblis dan setan-setannya terus mencari kesempatan untuk menentang Tuhan. Beberapa
bagian dalam Alkitab mengajarkan bahwa orang yang masih menyimpan dosa
yang belum dibereskan adalah kendaraan yang ideal yang dapat dipakai
Setan untuk menyerang orang dan rencana Allah (Kej. 4: 6-7; Ef. 4:
25-27; 5: 15-16; 1Pet. 5: 6-8).
4.
Tidak ada
kesedihan yang dapat dibandingkan dengan penyesalan yang dalam dari
seseorang yang sudah terlambat mengetahui bahwa ia sudah mengenal Yesus
namun dengan angkuh menolak teguran kasih-Nya. Alat utama Iblis adalah penipuan, yang dipakainya untuk memutar-balikkan dosa yang tidak dibereskan serta
motivasi yang egois untuk melaksanakan tujuan-tujuannya.
PENUTUP:
Tanpa
adanya dukungan, Tuhan Yesus melangkah untuk diadili seorang diri,
semuanya dilakukan seorang diri. Klimaksnya memuncak ketika Dia
tergantung di kayu salib, di sanalah Dia menjerit
"Eloi, Eloi, lama sabakhtani?—Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?—Yesus
mengalami persekutuan yang sempurna dengan Bapa, namun di kayu salib,
sebagai manusia seutuhnya Dia ditinggalkan Sang Bapa. Semuanya
meninggalkan Dia justru karena Dia tidak ingin meninggalkan kita.
Ironis!
Louis Berkhof berkata, ketika berada di dunia,
Tuhan Yesus bukan hanya mengalami penderitaan secara fisik, tetapi Tuhan
Yesus mengalami penderitaan yang menyeluruh, yang menyangkut tubuh,
jiwa dan roh. Ketika Dia disalib, Dia diejek, Dia bisa saja turun dari
salib dan meninggalkan hukuman-Nya. Tetapi itu tidak dilakukan-Nya,
malahan Dia mengatakan
“Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”
(Luk. 23:34). Tuhan Yesus telah ditinggalkan untuk menghadapi
penderitaan seorang diri tanpa relasi dengan Bapa atau persekutuan
sahabat-sahabat-Nya, tetapi itu tidak membuat-Nya menyerah dan melarikan
diri, meninggalkan kita. Untuk sebuah karya penebusan yang agung,
untuk melakukan kehendak Bapa-Nya di sorga Dia tetap bertahan dan tidak
meninggalkan penderitaan-Nya di tengah jalan. Siapkah kita memikul
salib bersama dengan-Nya, atau kita ingin meninggalkan-Nya?
Ada
kalanya sebagai pengikut Kristus kita mengalami masalah yang cukup
berat. Menghadapi tantangan kehidupan yang berpotensi membuat kita
meninggalkan Yesus, bahkan ada kalanya kita sebagai orang Kristen
merasa tidak melakukan hal yang merugikan orang lain, tetapi tetap saja
kita mengalami apa yang dinamakan ketidakadilan, diskriminasi,
intimidasi ataupun penganiayaan.
Bahkan adakalanya
pencobaan yang kita alami bukanlah berupa penderitaan, tetapi justru
kenikmatan dunia yang menggoda kita, “berkat” yang sepertinya dari Tuhan
namun sebenarnya dibelokkan oleh Iblis sehingga secara perlahan-lahan
ia menarik kita semakin jauh meninggalkan Tuhan Yesus. Setan memiliki
1001 cara untuk menarik kita meninggalkan Yesus, oleh karenanya, firman
Tuhan hari ini memberikan kita
alarm: (1) agar kita melatih
kepekaan kita secara rohani dengan berdoa dan berjaga-jaga dalam
kebenaran firman-Nya; (2) mewaspadai keinginan daging kita agar tidak
menghalangi keinginan roh kita dalam melakukan kehendak Allah.
Oleh sebab itu, janganlah kita membiarkan diri kita undur dari Tuhan, penulis Ibrani di 10: 25 berkata:
Janganlah
kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti
dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati,
dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat. Ketika kita menghadapi masalah, bahkan yang terberat sekalipun, ingatlah bahwa
Tuhan
Yesus sudah terlebih dahulu menderita bagi saya juga bagi sdr. Tuhan
Yesus telah melewati semuanya, penderitaan dan penganiayaan bahkan maut,
sebagaimana dikatakan dalam Ibrani 4:15 “
Sebab Imam Besar yang kita
punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan
kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai,
hanya tidak berbuat dosa.”
Mohonlah ampun,
jika dalam hidup kita, kita pernah dan masih meninggalkan-Nya, dan
berbaliklah kepada-Nya. jangan sampai masalah yang menimpa kita membuat
kita meninggalkan Tuhan sekali lagi daripada menghadapinya bersama
Tuhan.
Jangan tinggalkan Dia sekali lagi. Mari saudaraku, marilah kita setia kepada Kristus sebab seperti firman Tuhan berkata,”
tetapi
Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya
ialah kita, jika kita sampai kepada akhirnya teguh berpegang pada
kepercayaan dan pengharapan yang kita megahkan.” Amin.