Sabtu, 22 September 2012

KEBAHAGIAN ORANG FASIK SEMU - MAZMUR 37


PENDAHULUAN
Seorang ibu satu anak pernah berkata kepada saya, “Aneh ya kenapa sih orang yang jahat sepertinya hidupnya lebih senang dari orang baik. Sepertinya kalau mau sukses atau kaya kita memang harus berbuat jahat kali ya.” Kenapa ibu ini bisa ngomong seperti itu? Karena fakta berbicara, orang baik banyak yang hidupnya susah, tetapi kebalikannya, banyak orang yang sudah ketahuan jahat tetapi sepertinya hidupnya kelihatan senang.

Di satu sisi, ada banyak orang yang sudah mengikut Tuhan dengan setia tetapi harus mengalami penderitaan, entah karena penyakit atau pergumulan berat lainnya. Mengikut Yesus malah kena kanker, tetapi orang yang hidupnya bebas seenaknya, mabuk-mabukan, berjudi, suka ngomongin orang, kelakuan hidupnya tidak mencerminkan kebenaran eh hidupnya malah makmur dan sehat-sehat aja. Sepertinya Tuhan tidak memperdulikan dan menghukum mereka. Tetapi apa benar Tuhan membiarkan orang baik menderita dan membebaskan orang yang jahat? Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai umat Allah menghadapi situasi ini? Kita akan melihatnya dari Mazmur 37.

PENJELASAN
Kita tidak tahu apa yang secara persis latar belakang dari Mazmur 37 ini, tetapi Daud menulis mazmur ini menjelang akhir hidupnya. Kemungkinan besar dia telah melihat bagaimana keadaan yang berlangsung di masa dia hidup di mana ada banyak orang-orang jahat yang hidupnya tenang seperti terbebas dari hukuman sementara ada begitu banyak orang khususnya rakyat yang mengalami ketidakadilan akibat kejahatan mereka.

Di dalam mazmurnya, pertama-tama ia memberikan satu dorongan bagi mereka yang hidup di tengah-tengah orang yang jahat tetapi hidupnya penuh dengan kemakmuran, yakni dengan perintah jangan gusar. Ya, jangan kita menjadi gusar ketika kita mendapati ada orang yang kelakuannya jahat tetapi hidupnya sejahtera secara fisik. Sepertinya memang keadaan tersebut terkesan tidak adil tetapi Daud berkata, “Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang.”

Jika kita perhatikan, ada tiga kali peringatan “jangan marah” yang ditulis oleh Daud di mazmur ini (1, 7, 8). Mengapa tiga kali? Menunjukkan betapa pentingnya perintah “jangan marah” tersebut bagi kita. Mengapa perintah “jangan marah” menjadi sangat penting? Bukankah sudah sewajarnya kita bersikap gusar/marah terhadap orang-orang berlaku tidak benar atau berlaku jahat? Apa yang mereka lakukan menyengsarakan orang banyak.

Sebenarnya kata “jangan marah” dari bahasa aslinya secara literal memiliki arti “jangan menjadi panas.” Sebuah keadaan yang berpotensi akan membuat kita akhirnya melampiaskan amarah kita secara nyata di hadapan publik. Akhirnya kita terpancing untuk melakukan dosa. Lho kenapa jadi berdosa? Perhatikan ayat 8 akhir, “Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan (BIS: celaka).” Efesus 4:26-27 berkata: “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis (BIS: Kalau kalian marah, janganlah membiarkan kemarahan itu menyebabkan kalian berdosa. Janganlah marah sepanjang hari, supaya Iblis tidak mendapat kesempatan). Dengan kata lain jangan sampai rasa panas kita, keresahan kita ditunggangi Iblis dan kita terprovokasi untuk melakukan tindakan berdosa.

Jika kita membiarkan rasa amarah dalam diri kita terus bertumbuh maka itu akan menjadi kebencian, keinginan untuk membalas dan menghakimi. Dan harus kita ketahui bersama bahwa hal-hal tersebut tidak berkenan kepada Allah. Maka firman Tuhan dengan tegas dan berulang berkata “jangan panas, jangan terpancing” kalau ada orang yang berbuat jahat tapi masih bisa hidup enak. Bolehlah kesal atau marah sesekali tetapi jangan sampai kekesalan/kemarahan itu menguasai kita sehingga kita melakukan dosa.

Oke, kita sudah tahu bahwa kita tidak boleh panas, tidak boleh menyimpan amarah terus menerus terhadap kelakuan orang jahat yang berkeliaran dan hidup enak itu, lalu bagaimana seharusnya kita bersikap? Sedikitnya ada empat hal yang dikatakan oleh Daud sang pemazmur:

1) “Percayalah kepada TUHAN dan lalukanlah yang baik” [3a]: adalah sebuah godaan bagi kita orang percaya melihat orang jahat kok hidupnya kaya yang bahagia, kita bisa terpancing dan bahkan bisa ikut-ikutan berbuat jahat Maka daripada kita dipusingkan dan jadi kecewa oleh perbuatan dan tingkah laku mereka, kita bersandar, menyerahkan yang terjadi yang di luar kemampuan kita kepada DIA; Ingat bahwa Ia adalah TUHAN, Hakim Yang Agung, satu-satunya yang berhak untuk menghakimi umat-Nya, bukan kita. Lalu lakukanlah perbuatan yang baik: dalam arti kata orang yang tidak baik/jahat itu memang ada di sekitar kita, nggak bisa nggak, dunia yang jatuh ke dalam dosa memang dipenuhi oleh orang yang berdosa. Dengan adanya kejahatan maka sudah sepatutnya kita yang sudah dimenangkan melakukan hal yang baik. Jika mereka berbuat jahat, kita harus berbuat yang baik, jangan ikut-ikutan. Rasul Paulus berkata: “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!” (Rom. 12:21). Kunci agar kita tidak terprovokasi, terpancing oleh godaan lingkungan yang jahat adalah dengan berpikir yang seperti rasul Paulus katakan di Filipi 4:8, “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”

2) “Bergembiralah karena TUHAN” [4a]: arti yang sesungguhnya di sini adalah kita harus mencari kebahagiaan di dalam Tuhan – Ia akan memberikan apa yang diinginkan hatimu (4b; bdk. Mat 6:32-33). Jangan kepancing untuk hidup makmur dengan menghalalkan segala cara, termasuk melakukan hal jahat. Tetapi lakukalah semua di dalam Tuhan, Tuhan akan mencurahkan berkat pemeliharaan bagi umat-Nya.

3) “Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya” [5a]: sebagai manusia yang lemah dan terbatas kita tidak akan pernah mampu menjalani kehidupan yang keras dan jahat ini seorang diri saja. Beban yang kita pikul terlalu berat jika kita harus menanggungnya seorang diri. Untuk itu kita harus menyerahkan hidup kita di bawah perlindungan Tuhan, dan artinya jangan pernah kita mengambil keputusan hidup kita tanpa memohon perkenanan-Nya. Sebaliknya kita harus membiarkan Dia yang memimpin hidup kita. Jika kita dizalimi oleh orang-orang yang bermaksud tidak baik kepada kita dan hidupnya secara fisik terlihat lebih baik dari kita, kita serahkan saja kepada Tuhan dan percaya bahwa Tuhan akan bertindak. Dia tidak akan membiarkan kita menderita, Ia mendengar teriakan minta tolong yang diserukan oleh anak-anak-Nya.

4) “Berdiam dirilah di hadapan TUHAN dan nantikanlah DIA” [7a]: “be silent to the Lord.” Artinya, jika kelakuan orang jahat semakin keterlaluanpun kita harus belajar untuk tidak berinisiatif menghakimi mereka, sebab satu saat nanti Tuhan yang akan bertindak. Tuhan Yesus berkata: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Mat. 5:44-45). Karena anugerah-Nya Tuhan menekan dosa dan menahan penghukuman-Nya. Penghakiman dan penghukuman Tuhan nyata pada akhirnya, hanya masalah waktunya saja.

Nah, itulah yang harus kita lakukan sebagai orang yang sudah dibenarkan. Lalu, alasan utama kita tidak perlu resah karena kehidupan orang jahat yang kelihatannya makmur hidupnya, yang sepertinya hidupnya nggak ada masalah adalah karena kebahagian mereka adalah kebahagian yang semu, tidak kekal, terbatas. Berulang kali Daud berkata “jangan marah” kepada umat Allah terhadap kebahagian orang fasik karena mereka satu saat ini akan mati dan dihakimi oleh Allah. Ia membahasakan kejatuhan mereka dengan berkata:
  • mereka segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuh-tumbuhan hijau (2); 
  • orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan (9, 22, 28, 43, 38);
  • ia sudah tidak akan ada lagi (10); 
  • Tuhan menertawakan orang fasik itu, sebab Ia melihat bahwa harinya sudah dekat (13); 
  • pedang mereka akan menikam dada mereka sendiri, busur mereka akan dipatahkan (15); 
  • lengan orang-orang fasik dipatahkan (17); 
  • orang-orang fasik akan binasa (20); 
  • pendurhaka-pendurhaka akan dibinasakan bersama-sama, dan masa depan orang-orang fasik akan  dilenyapkan (38)
Panggilan kita sebagai anak-anak Tuhan adalah: Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik, maka engkau akan tetap tinggal untuk selama-lamanya; sebab TUHAN mencintai hukum, dan Ia tidak meninggalkan orang-orang yang dikasihi-Nya. Sampai selama-lamanya mereka akan terpelihara, tetapi anak cucu orang-orang fasik akan dilenyapkan. Orang-orang benar akan mewarisi negeri dan tinggal di sana senantiasa. (27-29). Amin.

“Jangan Melupakan TUHAN” 1 Samuel 12:6-15


Alasan yang paling efektif dan kata ajaib yang paling sering digunakan oleh seseorang untuk sebuah kelalaian (ketidaktaatan) adalah kata “lupa.”  “Mengapa kamu tidak membawa Alkitab?” tanya sang guru agama.  “Lupa Pak” demikian jawab sang murid.  “Lho koq mamah tidak membawa pesananku sih?”  tanya sang suami kepada istrinya.  “Aduh, iya lupa pah!”  Banyak orang menggunakan alasan lupa sebagai sarana pembenaran diri.  Parahnya ada sebagian orang merasa tidak bersalah ketika mereka melupakan tugas dan tanggung jawab mereka, sehingga lupa menjadi sebuah pegangan untuk melarikan diri dari tanggung jawab.  Tentu saja tidak semua orang seperti demikian, ada orang-orang yang memegang janjinya sedemikian rupa dan merasa bersalah karena kelupaannya.

Namun memang tidak dipungkiri kalau alasan “lupa” adalah efektif karena “lupa” itu adalah naluriah, walau bagaimanapun bukan berarti itu menjadi alasan kita untuk menjadi lalai.  Yang menjadi perenungan kita adalah lupa bisa berakibat fatal, seperti lupa mematikan kompor bisa mengakibatkan kompor meledak dan terjadi kebakaran, dll.

Demikian juga dengan yang sering dilakukan oleh bangsa Israel seperti yang dikisahkan di kitab-kitab Perjanjian Lama.  Sejarah menulis bangsa Israel seringkali melupakan Tuhan setelah mereka ditolong oleh Tuhan sekalipun.  Mereka memiliki reputasi sebagai bangsa yang tidak taat dan melupakan kebaikan Tuhan (dimulai sejak Kejadian 3).  Penulis kitab Samuel menulis, “Ketika Yakub datang ke Mesir dan nenek moyangmu berseru-seru kepada TUHAN, maka TUHAN mengutus Musa dan Harun, yang membawa nenek moyangmu keluar dari Mesir, dan membiarkan mereka diam di tempat ini.  Tetapi mereka melupakan TUHAN” (8-9).   
          
Kegiatan bangsa Israel yang sering melupakan TUHAN dikutip oleh penulis bagaimana TUHAN Allah tetap memperhatikan mereka dengan mengutus para hakim untuk membebaskan mereka dari penindasan bangsa asing (10-11).  Namun, kebiasaan lama yang dilakukan bangsa Israel dilakukan ulang: mereka (kembali) melupakan TUHAN.

Siklus ketidaktaatan ini sangat jelas dinyatakan di kitab Hakim-hakim: 
  • Bangsa Israel hidup tenang dan taat di bawah pengaturan para hakim dimulai dari tahun-tahun terakhir masa Yosua (Masa Tenang [Rest])
  • Muncul generasi baru, timbul penyesatan dan ketidaktaatan kepada hukum Taurat yang berkaitan dengan penyembahan berhala (Pemberontakan [Rebellion])
  • Allah menghukum bangsa Israel lewat penindasan bangsa asing (Hukuman [Retribution])
  • Bangsa Israel memohon pertolongan Allah untuk membebaskan mereka dari penindasan (Pertobatan [Repentance])
  • Allah mendengar teriakan permintaaan tolong bangsa Israel dan membangkitkan seorang hakim untuk membebaskan bangsa Israel dengan kemenangan atas bangsa asing (Pemulihan [Restoration]).
  • Namun ketenangan hanya berjalan sebentar, setelah hakim yang lama mati, tidak ada pemimpin, masuk periode yang baru, bangsa Israel mulai berlaku jahat lagi dan  siklus ketidaktaatanpun kembali berulang. 
Siklus pemberontakan ini berlangsung selama rentang waktu 200 tahun.  Penulis mencatat siklus pengulangan ini sebanyak tujuh kali di dalam kitab ini.  Menunjukkan bagaimana begitu seringnya bangsa Israel ingkar janji dan melupakan TUHAN.  Sampai akhirnya, Samuel yang merupakan hakim terakhir menjadi saksi penolakan bangsa Israel terhadap TUHAN.  Samuel kalah menghadapi tuntutan bangsa Israel, dan mengangkat Saul menjadi raja (13-15).  Namun, pemerintahan Saul sebagian besar merupakan malapetaka karena ketidaksetiaannya.

Apa yang dirindukan Tuhan kepada umat-Nya adalah kesetiaan.  Dan kesetiaan menuntut ketaatan, ketaatan untuk mendengarkan firman-Nya.  Tuhan ingin saudara dan saya tidak melupakan pemeliharaan-Nya, tuntunan-Nya, pertolongan-Nya dan perintah-perintah-Nya.  Perkataan-Nya semua tertera di dalam Alkitab, kita dapat membacanya siang dan malam.  Setiap minggunya kita bisa mendengar firman-Nya lewat ibadah rutin yang kita lakukan.  Di dalam persekutuan, firman-Nya kembali dapat kita renungkan bersama.  Tuhan mengasihi umat-Nya maka Ia ingin kita bisa terpaut terus dengan-Nya lewat ketaatan kita mendengarkan firman-Nya.  

Siapa yang sudah lama tidak beribadah, kembalilah beribadah kepada-Nya, dengarkanlah pengajaran-Nya dan bersikap setialah.  Siapa yang sudah lama tidak membaca Alkitab, kembalilah membuka surat cinta-Nya, temukan nasihat-Nya dan bertekunlah membaca.  Siapa yang sudah lama tidak berdoa, kembalilah berdoa, dengarkanlah suara-Nya dan perolehlah ketenangan.  

Amin.


Jumat, 14 September 2012

Renungan Akhir Pekan - persiapan memasuki ibadah-Nya -Kesalehan Ayub di Hadapan Tuhan - Ayub 40:1-9


Seringkali di dalam kehidupan kita, hidup yang kita jalani tidak semulus dengan yang kita harapkan.  Ada kalanya, kesulitan-kesulitan datang yang sebenarnya bukan disebabkan oleh kita tetapi karena faktor keadaan ataupun perbuatan orang lain.  Semua itu Tuhan ijinkan terjadi karena dunia yang kita diami sudah dan sedang jatuh ke dalam dosa.  Bahkan orang Kristen yang mengasihi Allah sekalipun bisa mengalami penderitaan yang berat.  Kita bisa menelusuri ada banyak anak-anak Tuhan yang mengalami sakit kanker yang tidak tersembuhkan.  Namun ada satu hal penting yang perlu kita ketahui bersama, bahwa pada dasarnya Tuhan tidak menghendaki ada penderitaan terjadi.  Tetapi, jika penderitaan itu tetap terjadi, semuanya Tuhan ijinkan terjadi di dalam kendali-Nya.  Tidak ada satupun peristiwa yang terjadi, seburuk apapun yang tidak diketahui Allah.  Pertanyaannya adalah apakah kita akan mempertanyakan Allah atau bahkan menuduh Allah ketika kita suatu kali mengalami penderitaan?

Melalui kisah Ayub di pasal 4 ini kita bisa melihat ada dialog antara Allah dengan Ayub, di mana Allah seakan berbalik menginterogasi Ayub atas penderitaan yang Ayub alami.  Allah bertanya kepada Ayub, ”Hai Ayub, kautantang Aku, Allah Yang Mahakuasa; maukah engkau mengalah atau maukah engkau membantah?" (ayat 1, BIS).  Di sini kita melihat Allah berkata kepada Ayub, bahwa penderitaan yang dialami Ayub sebenarnya bukanlah terjadi semata-mata karena kehendak Allah.  Namun jikalau penderitaan itu harus terjadi, Allah ingin Ayub jangan sekali-sekali mempertanyakan atau menuduh Allah.  Kalaupun Allah mengijinkan Ayub menderita, Allah berdaulat untuk mengijinkannya terjadi.  Artinya, penderitaan Ayub berada dalam lingkup kedaulatan Allah.  Tetapi kita bisa melihat jawaban Ayub di ayat 4-5, ia tidak berani berbantah dengan Allah.  Ia menyadari seutuhnya bahwa ia sama sekali tidak berhak untuk mengatur Allah.  Jika kita membaca kisah penderitaan Ayub yang berat, maka jawaban Ayub mewakili kesalehan yang dimilikinya.

Ketika kita mengalami tantangan kesulitan atau penderitaan, tidak jarang kita mengeluh dan mempertanyakan kemahakuasaan Allah.  Tanpa sadar kita sedang mengintruksi Allah untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan Allah bagi kita.  Seringkali ketika sebagian orang Kristen mengalami penderitaan, mereka merasa tidak nyaman dan menuntut Allah melepaskan mereka dari penderitaan, lalu jika penderitaan itu tetap mereka alami, mereka mulai mempertanyakan Allah dan akhirnya mereka meninggalkan Allah.  Sdr, padahal ada kalanya Tuhan ijinkan kita menderita adalah untuk menguji iman kita sejauh mana, seberapa dalam kesalehan kita untuk tetap bergantung dan percaya bahwa Allah itu baik adanya.  Seperti Ayub yang tidak mempertanyakan bahkan menginstruksi Allah—kita sebagai orang percaya harus menunjukkan kesalehan kita kepada Allah dengan bersikap “biarlah kehendak-Mu yang jadi ya Allah” di dalam kesulitan yang terberat sekalipun.  Amin.

Just 2 remember: 4 GOD IS LOVE -1 Yohanes 4: 7-12


Jikalau sdr mengamati dunia kita sekarang ini, sdr pasti setuju jika masyarakat kita saat ini sudah mulai kehilangan yang namanya kasih. Individualistis merasuk ke dalam diri hampir setiap orang sehingga tegur sapa di komplek perkotaan sudah memudar. Jalanan semakin tidak ramah, setiap orang ingin menang sendiri. Tawuran bukan saja terjadi antar sekolah dan kampus tetapi sudah antar kampung. Bahkan di antara teman bahkan kerabat sendiri bisa saling menghancurkan. Anak bunuh orang tua, orang tua membuang bayinya. Ini hanyalah secuplik potret kehidupan tentang hilangnya kasih di antara sesama.

Surat 1 Yohanes memang mengangkat kasih sebagai tema utamanya. Rasul Yohanes sang penulis seringkali di sebut sebagai rasul kasih karena ulasan-ulasannya di dominasi oleh hal-hal yang bernuansa kasih. Menurutnya, kasih di antara orang Kristen mendemonstrasikan kasih kepada Allah, kasih yang berasal dari Allah (7). Kasih itu sudah terlebih dahulu didemonstrasikan oleh Tuhan Yesus, maka sebagai anak-anak Allah kita harus merespon kasih-Nya dengan mengasihi sesama kita, terlebih kepada saudara kita yang seiman.  Pengenalan akan Yesus sebagai Anak Allah dan Juruselamat dunia memimpin orang percaya untuk mengenal kasih Allah.

Jadi di ayat-ayat ini rasul Yohanes sedang menerangkan bahwa lahir dari Allah, mengasihi Allah dan mengenal Allah adalah sesuatu jalinan yang tidak terpisahkan. Itulah mengapa rasul Yohanes menghimbau orang-orang percaya untuk saling mengasihi satu dengan yang lain (7) karena Allah adalah kasih (3) Dia adalah sumber kasih itu sendiri. Siapa yang mengasihi sesamanya lahir dari Allah dan mengenal Allah. Kebalikannya, yang tidak mengasihi tidak berasal dari Allah (8). Jadi jika ada orang mengaku bahwa ia mengasihi Allah namun membenci sesamanya, maka ia sedang mendustai Allah, sebab barang siapa tidak mengasihi saudara yang dilihatnya, bagaimana mungkin ia mampu mengasihi Allah yang tidak kelihatan itu (lih. 20).

Bagaimana dengan saudara? Sejauh mana saudara sudah mengasihi Allah? Apakah sudah diimbangi di dalam saudara mengasihi sesama saudara seiman? Allah adalah kasih, sumber kasih dan orang percaya harus saling mengasihi karena ia berasal dari Allah. Sudahkah saudara mengasihi sesama saudara yang terlihat oleh mata fisik saudara, sebagaimana saudara mengasihi Allah? Dan sudahkah saudara mengasihi Allah sedemikian rupa sebagaimana saudara mengasihi sesama saudara? Dua jalinan ini sama sekali tidak terpisahkan. Mohonlah hikmat dari Allah untuk bisa melakukan keduanya.